03

Tepat dua tahun setelahnya, Ayah Alan menerima keinginan putranya itu untuk menjadi pilot, tentu dengan berbagai macam cara untuk meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja. Kemudian lelaki jenius itu sudah bisa dipanggil sebagai ‘om pilot’ oleh anak-anak desa.

“akhirnya aku akan pergi Ra.” Aku mengangguk. “iya, selamat ya impianmu sekarang jadi kenyataan.” Tak lama ia memberikan sebuah gelang bermotif bulan dan sebuah kamera analog cokelat dengan ukiran ‘CA’ tanda inisial nama kita, Cemara dan Alan. “yang ini,” ucapnya seraya menunjuk gelang cantik itu. “sebagai hadiah ulang tahun ke dua puluhmu, nah yang ini,” lanjutnya dengan menunjuk sebuah kamera analog yang berada ditanganku, “hadiah saja dari aku, tapi ini spesial, aku buat sendiri dan yang lebih dengan segenap hati loh.” oh ayolah, ini terlalu manis buatku. “makasih ya.”

“besok aku akan terbang dan kira-kira akan pergi lama kuharap kita bisa bertemu lagi Ra.” Aku mengangguk, “pasti, hati-hati.”


Ya kira-kira itu adalah pertemuan terakhirku dengannya, ucapannya yang ingin pergi sudah ia kabulkan bahkan lebih dari yang kubayangkan, ia pergi yang benar-benar pergi. Tak hanya meninggalkan kota, tetapi juga meninggalkan kita semua, si lelaki jenius itu telah pergi bersama burung-burung yang menemani menemui sang pencipta lebih cepat dari yang kubayangkan.

Menjadikan penerbangan pertamanya menjadi penerbangan terakhirnya juga. Ia pergi karena pesawat yang ia kendarai mengalami rusak mesin sehingga terjadi ledakan diatas dan sudah dipastikan tak ada yang selamat.

Hatiku hancur kala itu, tapi surat yang terselip pada kotak kamera analog pemberian terakhirnya sebelum pergi sedikit meredakan kesedihanku. “Ra, jika kamu bisa mengizinkanku pergi maka kamu juga harus bisa menerima segala kemungkinan yang terjadi padaku nanti. Jika tuhan berkehendak lain maka jadikan kamera ini sebagai cinderamata terakhir dariku semoga bisa meredakan kerinduanmu padaku kelak. Jika aku kembali maka kita harus banyak mengabadikan momen-momen berharga kita disini nanti.” Sejak itu aku sadar bahwa setiap kata yang ia gambarkan tentang mimpinya hanya selalu tentang pergi tanpa ada kata kembali. Mungkin ini alasannya ia tak akan kembali.


“jadi teman nenek itu, pergi bersama burung-burung?”

“iya dia sudah pergi.”

“wah dia keren sekali.”

“iya, sangat keren.” Ucapku seraya menghapus sedikit bulir air mata disudut kelopak mataku. “apa dia tak akan kembali?” tanya Davi lagi. “sejatinya ia tak pernah pergi nak, karena ia selalu berada disini,” ujarku seraya menyentuh dada. “dihati nenek.”

Alan kamu adalah lelaki favorit Cemara, tak ada yang bisa gantiin posisimu begitupula dengan Bara, suamiku. Kamu selalu ada ruang dihatiku Lan, semoga kamu tenang disana ya, Nararya Alan.