11O
Aruna tengah sibuk melayani para pelanggan tidak sengaja netranya menatap Juli sedang duduk di area taman depan dengan tatapan yang lurus. Dengan langkah ragu ia jalan mendekati lelaki itu, menepuk pelan pundaknya membuat lelaki itu sedikit terlonjak kaget akan sentuhan yang ia berikan.
“Eh... maaf pak,” ucapnya kala mendapat tatapan sinis dari bosnya itu. “Nggak apa-apa, kaget aja saya tadi,” jelasnya lalu sedikit menggeser duduknya memberi ruang sedikit itu mempersilahkan Aruna duduk di sebelahnya. “duduk.” Tangannya menepuk-nepuk pelan ruang yang kosong itu pada Aruna.
“Ada apa pak?” tanya Aruna setelah berkali-kali meyankinkan dirinya untuk bertanya pada bosnya itu, raut wajah yang berbeda dari yang ia lihat kemarin, membuat ia lebih was-was dalam bertindak.
“Nggak.”
“Nggak apa?”
“Nggak apa-apa.” Aruna hanya membuang nafasnya kasar, merasa tidak mendapat apa-apa ia bangkit dari duduknya meninggalkan Juli yang kebingungan akan tingkah mendadaknya itu.
Tidak berselang lama, ia kembali dengan secangkir kopi. “Secangkir Moccachino yang diharapkan bisa membawa kembali senyum pada wajah pak Julio,” ujarnya seraya menyerahkan secangkir kopi pada Juli.
Lantas Juli tertawa kecil melihat kopi dengan cream yang dihias membentuk sebuah wajah tersenyum diatasnya. “Makasih ya.”
“Kalau mau cerita, saya bisa kok jadi pendengar yang baik,” cerosos Aruna. “tapi kalau masalah cinta, saya nggak jamin sih.” Juli tertawa mendengarnya. “Sayangnya, iya.”
“Terus gimana tuh pak?” tanya Aruna setelah Juli menceritakan tentang oma yang meminta dirinya untuk membawa kekasihnya tiga hari lagi ke Yogyakarta saat hari ulang tahun omanya itu. Juli hanya mengedikkan pundaknya yang sudah melemah. “Hah... saya nggak tahu Run... perihal cinta, saya paling lemah.” Lalu seperkian detik setelahnya, Juli memutar tubuhnya sehingga sekarang menghadap ke arah Aruna. Membuat Aruna bergidik ngeri akan tatapan tajam yang diberikan bosnya itu. “Ke-kenapa... pak?”