274

Selepas makan bersama, Aruna kembali ke kamarnya untuk mengambil tas dan bawaannya yang lain meninggalkan Juli pada kedua orang tuanya yang kini tengah mengajaknya berbincang. Sadar akan kecanggungan ini. kedua orang tua Aruna meminta Juli menghampiri Aruna yang sudah lumayan lama di kamarnya.

Awalnya Juli menolak karena tidak ingin memasuki kamar seorang wanita begitu saja. Tapi mama Aruna memaksa, memintanya untuk masuk sekalian mengecek keadaan putrinya yang lama sekali di kamar. Dengan langkah pelan akhirnya ia sampai pada pintu bercat putih. Awalnya ia ketuk pelan pintu itu namun tidak ada jawabann. Kembali ia ketuk namun sama, kembali tidak ada jawaban.

Dengan keyakinan ia membuka pintu putih itu tanpa izin, di masukan kepalanya lebih dulu untuk melihat apa yang terjadi di dalam, namun nihil. Tidak ada orang sama sekali. ia melangkah masuk mengamati kamar bernuansa putih hitam itu dengan saksama.

Desain yang minimalis membuat suasana di dalam lebih lebar dari aslinya. Langkahnya berhenti pada meja rias milik Aruna. Disana tertera berbagai macam produk kecantikan yang Aruna pakai. Namun netranya berhenti pada laci yang memunculkan sebuah sapu tangan yang tersangkut di dalamnya.

Ia buka laci itu, dan mengambil sapu tangan yang tersangkut tadi. Ia terdiam, ia juga tidak sedang bermimpi.

Sapu tangan yang ia genggam sekarang persis seperti miliknya. “Loh, Jul. Ngapain?” tanya Aruna saat perempuan itu masuk dengan sebuah tas biru tosca di genggamannya.

Juli sedikit gelagapan, “Ah, eh disuruh mama mu samperin abisnya kelamaan,” jawabnya jujur. “waktu saya ketuk nggak ada sahutan, akhirnya saya masuk, maaf ya.”

Aruna tertawa, “Haha, nggak apa-apa tadi saya cari ini.” diangkatnya tas biru tosca itu pada Juli. “ternyata saya tinggal di ruang televisi,” ujarnya dengan cengiran.

“Yuk—eh,” ucapannya terhenti dengan netra yang menatap tangan Juli yang tengah menggenggam sapu tangannya. “loh, sapu tangan saya, hampir lupa saya bawa.” Tangannya terjulur mengambil sapu tangan itu dan memasukkannya.

“Itu punya kamu?” tanya Juli, lantas Aruna mengangguk, “Iya, kan waktu itu saya bawa juga pas tujuh belas Agustus itu.” Ingatan Juli memutar pada kejadian dimana ia pingsan waktu itu. Lantas ia mengangguk. “Baru saya temuin lagi nih, sempet hilang dulu,” lanjutnya seraya tersenyum.

“Yuk.”