261

Pagi ini Juli berada di teras rumahnya seraya menyesap segelas kopi buatan Juni, sedangkan adiknya itu sedang berada di dapur membantu asisten rumah tangga mereka, menyiapkan sarapan. Seharusnya pagi ini ia pergi mengecek keadaan kafe sebelum pesan Aruna sudah mengganggunya dari pagi buta untuk mencegahnya datang ke kafe karena harus istirahat.

Setelah sarapan ia duduk bersama Juni menonton film kartun yang sudah lama sekali tidak mereka tonton, karena kesibukkan masing-masing. Dengan posisi kepala Juni menyender pada dada bidang milik kakaknya dengan tangan yang setiap memutar-mutar remote televisi. Sedangkan Juli tangannya tidak henti-henti mengelus-elus surai hitam adiknya itu tidak jarang sesekali ia mengecup pucuk kepala sang adik yang dibalas senyum manis Juni.

Tidak berselang lama dering telepon Juli berbunyi, membuat kegiatannya itu terhenti paksa, ia segera bangun dari duduknya dan berjalan menjauh dari Juni. Setelah itu ia bergegas pergi ke kamar dengan ponsel yang ia letakkan pada nakas dekat televisi.

Tidak lama, ia kembali dengan pakaian yang sudah rapi, membuat Juni mengejutkan dahi dengan wajah penuh tanda tanya, belum sempat Juli menjawab sapaan salam dari arah pintu.

Senyum ceria dari pria yang baru mereka temui dua hari yang lalu menyapa terlebih dahulu. “Ayah ganggu nggak?” Juli lantas tersenyum dan memeluk ayahnya erat, seperti ada rasa ia tidak akan bertemu lagi dengan ayahnya itu. “Sama sekali nggak,” ucapnya yang masih dalam rengkuhan sang ayah. Tidak mau kalah si bungsu segera menghampiri keduanya, menyelip pada sela-sela dan ikut memeluk mereka. Pelukan semakin erat, perasaan Juli yang begitu bahagia karena keluarganya utuh kembali mendominasi dari perasaan khawatir yang tiba-tiba menghampirinya.

Perasaannya tidak enak.

“Mau kemana kamu Lio?” tanya ayahnya yang sudah duduk, dan membuka sekotak kue berisi kue pukis yang masih panas. “Tiba-tiba ada urusan kerjaan yah,” ucapnya dengan mengambil satu buah kue dari dalam box dan memakannya, “Aw, panas.” Raihan hanya tertawa melihat tingkah anak sulungnya itu, “Ya hati-hati.”

“Yaudah Juli berangkat ya,” ucapnya seraya menyalami tangan sang ayah dan mengecup singkat kening adiknya. “hati-hati nak.” Juli mengangguk dan segera pergi meninggalkan kedua orang paling ia sayangi di rumah.

“Gue harap Cuma perasaan gue aja yang berlebihan,” batinnya.


Rasanya tidak tenang sedari di jalan, seperti ada yang kurang namun ia tidak tahu apa itu. Sampai tepat pada lampu merah ia teringat bahwa dompet dan ponselnya tertinggal di rumah, “Duh, kok bisa lupa.” Segera ia putar balik kendaraannya dengan terburu-buru takut rekan kerjanya menunggu terlalu lama Ia berharap agar jalanan lancar, namun ia salah keadaan jalanan malah sebaliknya. Macet. Suara klakson mobil bersahutan tidak jarang banyak pengendara motor dan mobil turun dari kendaraan mereka dan menghampiri sumber dari kemacetan itu. Salah seorang yang baru saja kembali dari depan segera ia cegat, “Ada apa pak?”

“Kecelakaan mas.”

“Kecelakaan apa?”

“Ada truk oleng dan nabrak mobil sedan putih dari arah berlawanan, penumpangnya tewas di tempat.” Tubuh Juli membeku di pikirannya berputar mobil putih sang ayah, yang ia bawa saat ke rumah tadi. dengan susah payah ia buang semua pikiran buruknya itu. Berharap kalau itu adalah hanya kebetulan mobil yang sama dengan milik sang ayah. Ia turun dari mobil dan menghampir kerumunan orang di depan. Ia melihat bagian tubuh mobil itu sudah hancur begitu parah sehingga ia tidak bisa melihat plat nomor mobil itu.

Tubuh korban sudah dimasukan pada kantung jenazah membuatnya kesulitan melihat siapa korban itu. Namun seketika langkahnya berhenti kala ia merasa menginjak sesuatu. Benda yang sangat ia kenali, ponselnya.