athiverse

Abang

“BANG RENJA!!!!”

“BANG LIHAT KITA BAWA APA!!”

Jevana dan lainnya hanya tertawa melihat betapa hebohnya Candra dan Zefa yang berebut menghampiri Renjana sambil membawa medali serta piala. kini makam Renjana terlihat ramai karena orang tua mereka semua ikut berziarah ke makam seorang pemuda yang begitu disayang oleh anak-anak mereka. katanya, bang Renja itu malaikatnya kita.

“Hai bang,” ujar Nanda seraya berjongkok lalu mengusap nisan Renjana yang sudah diganti menjadi sebuah granit hitam dengan ukiran nama Renjana yang berwarna emas terlihat begitu cantik.

“Lihat nih, janji kita buat serius belajar akhirnya membuahkan hasil.” Marvel hanya diam mendengarkan monolog Nanda. ia ingin bicara juga namun ia tahu nanti suasana senang akan berubah menjadi sendu. yah, walau sebenarnya perihal Renjana akan selalu membuat hati mereka lemah.

“Coba lo di sini bang, pasti kita langsung pergi buat makan es durian yang lo pengenin itu, yang di deket pasar,” tambah Hasan yang ikut berjongkok di samping Nanda. “nanti kita beli sampe gerobak-gerobaknya, yang bayar bang Marvel hahaha.”

“Bang Renja tadi dateng ya ke perlombaan?” tanya Zefa. “tadi aku ngerasa ada abang kayak bisikin aku, Zefa jangan takut, ada abang disini. makasih ya abang, kalau abang nggak bilang gitu mungkin Zefa akan gemeteran sama kayak pertama kali Zefa nginjakin kaki di asrama. kalau nggak ada abang yang sapa dan nenangin Zefa saat itu, mungkin Zefa nggak akan seberani sekarang.”

“Bang, kok belum dateng ke mimpi aku sih?” timpal Candra. “aku kangen loh di peluk abang. nanti malem dateng ya! kasih aku selamat dong, curang masa aku doang yang ngasih abang selamat.”

“Bang… ah gue mau ngomong tapi semua yang mau gue omongin ke lo udah di ucapin semua sama para bocah ini,” ujar Jevana pura-pura kesal seraya meletakan sebuket bunga melati putih di atas makam Renjana.

“Bang Marvel nggak mau ngomong gitu sama bang Renja?” tanya Candra tiba-tiba. membuat Marvel yang sedari tadi melamun tersentak kaget, lalu menggeleng. “Udah kok.”

“Lah, kapan? perasaan tadi diem aja.” lalu Marvel mengangkat tangannya mengarahkan ke arah dada. “di sini, di dalam hati. biar lo semua nggak denger,” ucapnya dengan seringai senyuman jenaka, membuat Candra sedikit kesal melihatnya. “Curang!”

“Bodo, wle.” semua tertawa bersama. suasana ceria kembali bangkit dibuatnya. semuanya lalu terdiam, saling mengirim doa untuk pemuda yang kini tengah terlelap di bawah sana.

Setelah doa selesai. mereka kembali menegakkan kepala. menatap sekali lagi makam yang kini penuh dengan bunga. harum. “Bang udah sore, kita pulang dulu ya?”

“Abang ikut aja yuk kita pulang bareng-bareng.”

“Hari ini, hari terakhir kita di asrama loh bang… pasti aku bakal kangen banget.”

“Besok kita udah pisah lagi bang, cepet banget ya masa. nggak sadar.”

“Ja, balik dulu ya. semoga lo bahagia juga hari ini. soalnya kita semua hari ini bahagia banget.”

“Dadah abang!” ujar Candra di akhir sebelum mereka benar-benar pergi dari makam Renjana. mungkin bisa jadi ini terakhir mereka bercengkrama seperti tadi. mungkin setelah ini mereka akan sibuk untuk urusan masing-masing. mungkin juga ini terakhir kalinya mereka berjumpa.

Karena tugas mereka sudah dinyatakan selesai hari ini.

Abang

“BANG RENJA!!!!”

“BANG LIHAT KITA BAWA APA!!”

Jevana dan lainnya hanya tertawa melihat betapa hebohnya Candra dan Zefa yang berebut menghampiri Renjana sambil membawa medali serta piala. kini makam Renjana terlihat ramai karena orang tua mereka semua ikut berziarah ke makam seorang pemuda yang begitu disayang oleh anak-anak mereka. katanya, bang Renja itu malaikatnya kita

“Hai bang,” ujar Nanda seraya berjongkok lalu mengusap nisan Renjana yang sudah diganti menjadi sebuah batu hitam dengan ukiran nama Renjana yang berwarna emas terlihat begitu cantik.

“Lihat nih, janji kita buat serius belajar akhirnya membuahkan hasil.” Marvel hanya diam mendengarkan monolog Nanda. ia ingin bicara juga namun ia tahu nanti suasana senang akan berubah menjadi sendu. yah, walau sebenarnya perihal Renjana akan selalu membuat hati mereka lemah.

“Coba lo disini bang, pasti kita langsung pergi buat makan es durian yang lo pengenin itu, yang di deket pasar,” tambah Hasan yang ikut berjongkok di samping Nanda. “nanti kita beli sampe gerobak-gerobaknya, yang bayar bang Marvel hahaha.”

“Bang Renja tadi dateng ya ke perlombaan?” tanya Zefa. “tadi aku ngerasa ada abang kayak bisikin aku, Zefa jangan takut, ada abang disini. makasih ya abang, kalau abang nggak bilang gitu mungkin Zefa akan gemeteran sama kayak pertama kali Zefa nginjakin kaki di asrama. kalau nggak ada abang yang sapa dan nenangin Zefa saat itu, mungkin Zefa nggak akan seberani sekarang.”

“Bang, kok belum dateng ke mimpi aku sih?” timpal Candra. “aku kangen loh di peluk abang. nanti malem dateng ya! kasih aku selamat dong, curang masa aku doang yang ngasih abang selamat.”

“Bang… ah gue mau ngomong tapi semua yang mau gue omongin ke lo udah di ucapin semua sama para bocah ini,” ujar Jevana pura-pura kesal seraya meletakan sebuket bunga melati putih diatas makam Renjana.

“Bang Marvel nggak mau ngomong gitu sama bang Renja?” tanya Candra tiba-tiba. membuat Marvel yang sedari tadi melamun tersentak kaget, lalu menggeleng. “Udah kok.”

“Lah, kapan? perasaan tadi diem aja.” lalu Marvel mengangkat tangannya mengarahkan ke arah dada. “disini, di dalam hati. biar lo semua nggak denger,” ucapnya dengan seringai senyuman jenaka, membuat Candra sedikit kesal melihatnya. “Curang!”

“Bodo, wle.” semua tertawa bersama. suasana ceria kembali bangkit dibuatnya. semuanya lalu terdiam, saling mengirim doa untuk pemuda yang kini tengah terlelap di bawah sana.

Setelah doa selesai. mereka kembali menegakkan kepala. menatap sekali lagi makam yang kini penuh dengan bunga. harum. “Bang udah sore, kita pulang dulu ya?”

“Abang ikut aja yuk kita pulang bareng-bareng.”

“Hari ini, hari terakhir kita di asrama loh bang… pasti aku bakal kangen banget.”

“Besok kita udah pisah lagi bang, cepet banget ya masa. nggak sadar.” “Ja, balik dulu ya. semoga lo bahagia juga hari ini. soalnya kita semua hari ini bahagia banget.”

“Dadah abang!” ujar Candra di akhir sebelum mereka benar-benar pergi dari makam Renjana. mungkin bisa jadi ini terakhir mereka bercengkrama seperti tadi. mungkin setelah ini mereka akan sibuk untuk urusan masing-masing. mungkin ini terakhir kalinya mereka berjumpa.

Tugas mereka sudah dinyatakan selesai hari ini.

Perpisahan

“Zefa!!!!” teriak Hasan saat melihat sosok yang tidak asing baginya sedang duduk bersama perempuan yang pasti adalah ibu dari Zefa. Zefa menoleh, wajah terkejutnya tidak bisa disembunyikan lagi. dengan cepat ia segera berlari menghampiri kelima abangnya.

“Loh abang dateng ke sini?!” tanyanya kaget. “Surprise!!!” teriak mereka bersamaan. Zefa tertawa lalu memeluk Marvel yang sudah membentangkan tangannya.

“Dateng dongg, masa adek abang yang paling lucu ini mau pergi jauh terus lama lagi, abang nggak anter?” Zefa tertawa lalu mengangguk. “Soalnya kemarin nggak ada yang balas pesan Zefa, jadi Zefa kira abang belum pada baca. by the way nggak lama kok, cuma tiga tahun aja.”

“Itu lama ya bocah!” protes Hasan yang segera memeluk Zefa tanda perpisahan. “kalau masalah nggak jawab di grup, maaf ya? abang shock aja bacanya terus langsung mikir gimana caranya harus ketemu Zefa sebelum Zefa pergi jauh.” Zefa tersenyum lalu mengangguk, kemudian mengeratkan pelukannya pada Hasan.

Setelah mereka bergantian memberi pelukan, setelahnya pula pengumuman bahwa pesawat Zefa akan segera berangkat, membuat percakapan mereka terpaksa selesai lebih cepat dari perkiraan.

“Buat kenang-kenangan. kalau kangen kita dan kalau kita nggak bisa di telepon. Zefa curhat ke dia aja. dia itu pendengar yang baik loh,” ujar Nanda memberi sebuah kotak yang entah isinya apa. Zefa mengangguk air matanya sudah keluar lagi.

“Makasih abang, Zefa berangkat dulu ya!”

“Dadah sayang! sampai jumpa tiga tahun lagi!!”

Zefa mengangguk seraya menghapus air matanya. “Dadah!!”

Ketika pelangi yang sesungguhnya datang

“BANG MARVEL!”

Marvel menoleh. suara itu, tatapan itu, tawa itu. ia sangat rindu. mereka semua berlari menghantam tubuh yang paling tua dengan cepat, membuat Marvel hampir saja terhuyung ke belakang.

“Gue kangen banget please sama lo,” ujar Jevana.

“Bang Marvel… Zefa juga kangen banget.”

“Ajakin band lo buat live music di cafe gue dong bang,” timpal Nanda setelahnya

Etdah ini kenapa sesek banget sih. badan lo semua kenapa jadi gede-gede banget!” omel Hasan yang tubuhnya kini terjepit diantara Jevana juga Nanda.

“Ngaca dong anjir!” ujar Jevana sedikit menoyor kepala Hasan pelan. Marvel tertawa melihatnya dengan posisi ia masih memeluk erat Candra karena anak itu juga enggan melepas pelukannya. jujur, ia sangat rindu suasana ini. suasana yang mungkin nggak akan ia dapatkan dari orang lain.

“Yah, asramanya di tutup ya…” ujar Nanda sembari membaca sebuah tulisan besar di pintu. Marvel mengangguk. “Iya, padahal tadinya gue mau masuk, mau nostalgia. haha.”

“Yaudah nggak apa-apa. kita masih bisa keliling asrama dari luar aja kan?” ucap Jevana berniat menghibur.

Sekarang, mereka tengah berkeliling mengamati setiap detail bangunan serta halaman asrama. ada yang telah berubah, ada yang masih sama seperti dulu. contohnya area taman yang menjadi saksi bisu tawa yang mereka ciptakan satu sama lain. “Nggak berubah ya, haha. masih sama.”

“Pohon mangganya masih ada!” pekik Candra.

“Ih tambah besar,” balas Zefa.

“Ya iyalah, masa kecil terus,” timpal Hasan.

Setelah puas berkeliling sekarang perut mereka meronta minta di isi ulang. “Makan apa ya?” tanya Nanda yang kini mengambil alih kemudi. membiarkan Marvel untuk duduk di sampingnya.

“Soto aja yuk! kangen sotonya Pak Haji gua,” seru Hasan cepat yang langsung disetujui oleh mereka semua. “Okay! meluncur!”


Kini mereka sudah berada di kedai soto langganan mereka dahulu. tempatnya sudah lebih besar serta bagus dari sebelumnya. tapi yang membuat mereka kaget, Pak Haji pemilik kedai soto itu masih mengenal mereka. bahkan ia sempat tersentak kaget melihat mereka datang kembali ke kedai miliknya.

“Ya Allah mas, kemana aja sih, bapak tungguin nggak pernah dateng lagi,” tanya Pak Haji yang tiba-tiba ikut bergabung di meja mereka sembari mengantar soto pesanan. mereka semua tertawa. “Pulang pak ke Jakarta. kita kan dulu cuma siswa karantina yang tinggal di gedung Panca itu.”

Sepertinya mereka memang belum pernah memberitahu Pak Haji kalau mereka di sini hanya sebagai seorang tamu, bukan warga asli. karena wajah kaget Pak Haji jelas sekali kentara. “Bapak baru tahu loh, pantas saja. sejak bubaran itu nggak pernah liat kalian lagi,” jawabnya. “Loh tunggu, si mas yang kecil itu kemana? kok nggak ikut? biasanya dia selalu minta buat nggak dipakein toge. baru sadar bapak dia nggak ada.”

Lidah mereka mendadak kelu. tapi sebisa mungkin mereka menyembunyikannya lalu kembali tersenyum. “Orangnya udah nggak ada pak,” jawab Marvel pelan. Pak Haji mengerutkan alisnya tidak paham. “Maksudnya?”

“Udah meninggal.”

“Innalillahi.” Dapat mereka lihat jelas bahwa Pak Haji sangat terkejut mendapat kabar tentang Renjana. “kapan?”

“Lima tahun yang lalu, kira-kira seminggu sebelum bubaran.”

“Ya Allah… umur nggak ada yang tahu ya,” ujarnya lirih seraya menghela nafasnya. “Yaudah dimakan sotonya, maaf ya bapak jadi bikin suasana jadi sedih gini.”

Mereka sontak menggeleng. “Nggak pak, kita semua udah ikhlas kok. Renja juga udah bahagia di sana. masa kita nggak bahagia juga?” tukas Marvel. Pak Haji mengangguk lalu berpamitan pergi untuk kembali melayani pembeli lainnya.


Keenam pemuda itu kini tengah berjalan-jalan menghabiskan waktu mengelilingi kota Bandung. dengan radio dari mobil Marvel sebagai teman perjalanan mereka walau sebenarnya tidak didengarkan juga, karena mereka lebih memilih saling bertukar cerita perjalanan mereka hingga matahari hendak pergi untuk bergantian dengan bulan.

“Mau langsung pulang apa gimana nih? kalian kesini naik apa deh?” tanya Marvel.

“Bang serius mau pulang?” tanya Hasan yang tiba-tiba kepalanya ia majukan hingga tepat di samping Marvel. “Sanaan anjir, jangan deket-deket,” ucap Marvel.

“Emang mau kemana lagi? udah mau gelap ini, besok juga kan senin.”

“Kita belum ketemu bang Renja, bang Marvel,” jelas Zefa yang duduk paling belakang. sontak Marvel terdiam. bagaimana bisa ia melupakan Renjana. ia membuang nafasnya sedikit kasar. “Maaf… gue lupa.”

Nanda tersenyum. “Nggak apa lah bang, namanya juga manusia.” Mobil segera Nanda arahkan sebuah tempat yang sudah lima tahun tidak mereka kunjungi. jujur, padatnya sekolah serta pekerjaan mereka membuat mereka tidak sempat lagi mendatangi makam Renjana. kecuali Nanda. setiap hari raya pasti ia, Darma dan Naura selalu pergi bertemu Renjana.

Mobil sudah terparkir rapi pada parkiran. mereka segera turun lalu membeli tiga bungkus bunga serta air mawar untuk Renjana. berjalan perlahan memasuki area pemakaman. “Halo abang….” sapa Candra pelan. ukiran nama Renjana masih terlihat cantik di sana. tidak pudar sedikit pun. diusapnya perlahan lalu memori kenangan tentang Renjana kembali berputar pada masing-masing kotak memori mereka.

Tawa Renjana, marah Renjana, tangis Renjana, sakit Renjana. semua kembali mereka lihat dengan jelas. tanpa sadar mereka kembali menangis. jangka waktu lima tahun atau bahkan selamanya tidak akan mampu menghapus seberapa pentingnya sosok Arshaka Renjana di hidup mereka.

“Abang, gimana kabarnya?” tanya Jevana sembari menabur bunga di atas makam Renjana. “gue sekarang lagi magang di kantor bokap loh bang, keren kan?”

“Gue juga lagi magang loh bang, terus juga lagi sibuk skripsian juga,” timpal Hasan. “kalo lo masih di sini, mungkin lo udah kerja kali ya bang? lo mau jadi apa sih? lo belum pernah bilang ke kita-kita cita-cita lo apa. yang selalu lo bilang, lo cuma mau liat kita sukses aja. apa emang lo udah tahu ya kalo lo mau pergi? makanya lo nggak pernah bilang buat kita sukses sama-sama.”

Zefa segera memeluk Hasan yang berada di sampingnya. “Abang jangan gini dong!” Hasan terkekeh melihat Zefa yang sudah menangis. “Lihat nih bang, adek kesayangan lo udah gede banget masa. tinggi banget dia kek tiang, calon dokter juga nih, bangga nggak lo?” ujar Hasan lagi dengan sedikit bergetar sambil menepuk-nepuk bahu Zefa yang masih memeluknya.

“Bang Renja, tau nggak kalau bang Marvel udah jadi musisi terkenal loh yang lagunya udah diputar dimana-mana. keren banget tau dia bang sekarang,” curhat Candra kemudian, sambil merapikan bunga-bunga yang tadi di tabur oleh Jevana.

“Dan Ja lo juga harus tau kalau Candra jadi anak arsi sekarang,” timpal Marvel yang tangannya sudah menepuk-nepuk bahu Candra. “keren.” Candra hanya tertawa lalu mengangguk-angguk.

“Nanda lo nggak cerita apa gitu?” tanya Hasan menoleh ke arah Nanda yang diam sambil membersihkan nisan Renjana. “Nggak, udah sering gue,” jawabnya.

“Curang banget.” Nanda tertawa lalu menatap Hasan yang wajahnya terlihat kesal. “Makanya jangan sibuk-sibuk,” sindir Nanda.

“Emang sibukkk,” jawab Hasan tidak mau kalah.

“Terus aja lo pada, masa ketemu bang Renja lo malah berantem. udah gede juga,” sindir Jevana yang sedari tadi menyimak. lantas semuanya tertawa menanggapi keributan kecil itu, sembari menikmati matahari yang perlahan pergi karena tugasnya hari ini sudah selesai.

Perasaan hangat seketika kembali menjalar, seakan kenangan lama itu kembali ke permukaan. seperti kembali menemukan rumah yang pernah hilang karena pemiliknya memilih pergi sebentar untuk menggapai mimpi masing-masing. dan sekarang pemiliknya sudah kembali. walau tak sepenuhnya utuh, tapi rumah yang mereka bangun akan selamanya ada. tidak akan hancur ataupun hilang lagi. karena sedari awal pondasi yang digunakan begitu kuat, kokoh dan tidak akan pernah hancur karena diciptakan oleh ketulusan.

Pondasi itu namanya, kasih sayang.

Mereka terlalu asik bercengkrama hingga tidak sadar, bahwa sosok yang sedang mereka rindukan, kini tengah menatap mereka dengan senyum andalannya. Arshaka Renjana hari ini juga hadir, menjadi saksi bisu perbincangan hangat kakak dan adik-adiknya.

D-DAY

Hari yang ditunggu semua peserta olimpiade matematika sedari dua bulan yang lalu akhirnya tiba. semua peserta sudah memasuki sebuah aula besar yang sudah berisi meja-meja yang akan mereka tempati nantinya.

“Bang… gua deg-degan banget sumpah,” ujar Hasan yang kini mengeratkan genggamannya pada lengan Marvel yang kini berada di sampingnya. “Tenang aja San, jangan dibawa stress.”

“Padahal tadi di asrama aku pede banget, kenapa sekarang ciut banget…,” lirih Candra yang sedari tadi mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru aula. melihat satu persatu manusia yang akan menjadi lawannya hari ini. “Hus, jangan ngomong gitu. harus pede dong!” bisik Nanda tepat di telinga Candra seraya membuat gerakan tangan mengepal lalu mengangkatnya ke atas yang sukses membuat Candra terkekeh kecil lalu mengangguk.

“Perhatian untuk seluruh peserta, harap segera duduk dengan posisi yang sudah disediakan oleh panitia. diharapkan tenang saat ketua pelaksana memberikan kata sambutan sebagai pembukaan acara pagi hari ini.” Ucapan pembawa acara barusan seketika menginterupsi seluruh peserta sehingga suara riuh yang tadi tercipta hilang seketika.

Tak lama ketua pelaksana memberikan salam pembuka serta kata-kata semangat untuk para peserta. tak perlu waktu lama juri pada olimpiade kali ini sudah memasuki aula setelah kata penyambutan selesai diberikan.

Suasana berubah menjadi lebih mencekam dari sebelumnya. berulang kali Zefa menarik nafasnya seakan oksigen di ruangan ini sangat terbatas. “Jangan gugup Zef,” ucap Jevana. “kita hadapi bareng-bareng.”

Peraturan kali ini akan ada dua putaran untuk penyeleksian peserta yang akan lolos ke tahap final yang dimana di kedua putaran tersebut diberikan soal tertulis dengan jumlah yang berbeda di setiap putaran. “Untuk putaran pertama, akan dikeluarkan lima belas kelompok. dan untuk putaran kedua, akan dikeluarkan empat belas kelompok dengan nilai terendah di setiap putarannya. lima kelompok yang bertahan akan masuk ke babak final.” terang salah satu juri perempuan yang duduk di tengah. “paham semua?”

Sontak seluruh peserta menjawab dengan kompak dan semangat yang membara. piala besar yang sekarang berada di samping juri sangat membangkitkan jiwa kompetitif para peserta.

Putaran pertama dimulai dengan suara dentuman gong besar yang entah berada dimana namun suaranya sangat terdengar jelas. para panitia dengan cepat membagikan soal-soal yang akan menjadi penentu utama siapa yang akan bertahan untuk putaran selanjutnya.

“Ingat ya jangan gegabah, jangan panik, nanti semua yang udah kalian pelajari akan buyar. semua kerjain yang mudah dulu,” titah Marvel saat melihat wajah tegang kelima temannya itu. “Iya abang siap!” jawab Candra dengan tangan diletakan di ujung alis tanda hormat kepada Marvel yang dibalas acungan ibu jari.

Suara kertas yang dibolak balik menjadi satu-satunya suara yang menemani kegiatan mereka sekarang. seratus soal untuk tujuh orang memang terlihat sedikit. namun soal yang menjebak adalah tantangan yang sesungguhnya. ditambah dengan waktu yang terus berjalan.

“Gila susah banget,” keluh Hasan saat kerta soal mereka baru saja diambil oleh panitia untuk dikoreksi. “Namanya juga lomba, kalo mau gampang mah lo kerjain aja soal anak sd kelas satu San,” jawab Jevana yang kini tengah memijat pelipisnya pelan.

“Aku deg-degan banget abang,” ucap Candra pada Nanda. “Jangan dipikirin, tenang aja ya? yang penting udah usaha.”

Lima belas menit berlalu dan hasil sudah berada ditangan juri. suasana yang tadi sudah lebih bersahabat kini kembali menegangkan. rapalan-rapalan doa peserta lain terdengar memenuhi indra pendengaran Hasan membuatnya semakin gugup.

Satu persatu perwakilan provinsi yang lolos disebutkan membuat nafas enam pria yang kini saling berpegangan tangan di bawah meja ikut tertahan menunggu nama provinsi mereka disebut. “Jakarta. Selamat kalian lolos ke babak berikutnya.”

Jangan tanya bagaimana lega dan hebohnya mereka mendengar kalau mereka lolos ke babak selanjutnya karena Candra dan Hasan langsung berdiri dan bertos ria tanpa tahu tempat dan keadaan yang akhirnya semua perhatian tertuju semua kepada mereka.

Ditambah hebohnya Biantara, ayah Jevana yang benar-benar membawa pasukan untuk menyemangati putra sulungnya itu.


Babak kedua dimulai dengan keadaan lebih sepi dari sebelumnya, karena hampir separuh kelompok sudah gugur. namun rasa tegang yang mereka hadapi tak pernah berkurang sedikit pun. malah semakin bertambah rasanya.

“Kakiku tiba-tiba lemes banget masa…” ujar Zefa dengan wajah polosnya, membuat Jevana yang dari tadi diam terkekeh melihatnya. “Woi ilah, santai aja, kalau gugup nanti kayak yang bang Marvel bilang, malah nggak fokus. ayo tarik nafasnya terus buang pelan-pelan.” Zefa mengangguk lalu menjalankan instruksi yang diarahkan Jevana barusan.

Suara gong kedua terdengar. panitia kembali membagikan soal berikutnya. dan yang membuat mereka terkejut jumlah soal yang diberikan bertambah hingga lima puluh soal. dengan cepat Marvel membagi soal demi soal untuk mereka kerjakan.

“Pelan-pelan, inget. konsentrasi. ini penentuan,” ujar Marvel tegas. mereka semua mengangguk paham menanggapinya.

Hasan merasakan kebas di tangannya. membuat jantungnya berdetak lebih cepat karena ia tidak bisa menyia-nyiakan waktu yang ada hanya untuk menghilangkan kebas yang ia rasakan sekarang. “Jangan panik Hasan,” ucap Marvel yang menyadari gerak-gerik Hasan tanpa melihat ke arah lelaki itu.

Soal kedua selesai setelah dua jam pengerjaan. kembali menunggu lima belas menit untuk pengumuman dengan wajah tegangnya masing-masing. sedang Hasan kini ia hanya bisa pasrah karena konsentrasinya tadi sempat buyar di beberapa soal.

Nanda menoleh mendengar Jevana menghela nafasnya sedikit kasar terlihat jelas sekali lelaki itu tengah gugup. dengan sedikit tertawa Nanda menepuk pelan bahu Jevana. “Lo dari tadi bilang ke Hasan sama Zefa jangan gugup, jangan takut. tapi lo sendiri juga sama aja. emang bener ya, paling gampang tuh ngasih tau orang tapi nggak pernah di praktekin ke diri sendiri.” Jevana hanya melengos mendengar penuturan panjang Nanda yang membuat lelaki itu semakin tertawa dibuatnya. “Tenang aja, pasti lolos.”

“Yakin banget.”

“Harus yakin. kalau bukan kita yang yakin siapa lagi?” Jevana akhirnya mengangguk, lalu ia kembali menegakkan tubuhnya untuk menatap lurus ke depan. menunggu pengumuman juri selanjutnya.

Sorak sorai dari Hasan, Marvel serta Candra menggema setelah mengetahui bahwa mereka lolos ke tahap final. suara bertambah riuh saat grup marching band yang diundang secara khusus oleh Biantara mulai memainkan alat musiknya.

Jevana, lelaki itu akhirnya bisa bernafas lega walau sebenarnya ia tengah malu setengah mati melihat tingkah gila ayahnya itu.


“Abang ini finalnya kayak gimana…” tanya Zefa pelan. kini hanya tertinggal lima kelompok yang berada di tengah aula. kelompok yang telah gugur sudah berpindah ke tempat penonton. menonton pertandingan terakhir. “Abang juga nggak tahu,” jawab Marvel.

Suara pembawa acara yang memberitahu bahwa babak final akan segera dimulai membuat semua peserta segera mempersiapkan diri.

pembawa acara berjalan ke arah tengah dengan gagah. “Oke akhirnya kita sudah berada di saat yang sangat ditunggu-tunggu. babak final!” Suara tepuk tangan riuh saling bersahutan memenuhi aula sekarang. membuat peserta yang kini akan kembali berjuang tersenyum melihatnya dan tidak sedikit ada yang ikut bertepuk tangan heboh.

“Oke, semua tenang dulu,” ucap pembawa acara kembali. “kali ini, peraturannya berbeda dengan dua babak sebelumnya. untuk babak final kita akan menggunakan sistem cerdas cermat, siapa cepat dia dapat. jadi siapa yang akan menjawab duluan adalah yang menekan bel terlebih dahulu. dan poin setiap soal adalah dua. kalian sudah mengerti dengan penjelasan saya barusan?” Anggukan para peserta berikan sebagai jawaban.

Suara gong kembali terdengar yang berarti babak penentuan akan segera dimulai. panitia sudah siap memberikan soal yang akan ditanyakan. terdapat tiga puluh soal esai. sebuah bel juga sudah diletakkan di masing-masing meja. siap menjadi alat tempur babak ini.

Soal pertama diberikan. sahutan demi sahutan bel menggema. detak jantung para peserta semakin berdetak cepat. soal demi soal benar-benar terjawab dengan cepat hanya hitungan detik bel berbunyi setelah panitia selesai membacakan soalnya. decakan kesal pun tak lepas dari gabungan suara ricuh tersebut.

Pertandingan berjalan menegangkan selisih yang terlampau kecil membuat mereka berlomba memperjauh jarak. saling memutar otak agar pertanyaan bisa terjawab lebih cepat dari kapasitas masing-masing. hingga tak terasa tersisa dua kelompok dengan nilai seri.

Hasan merenggut rambutnya sedikit keras. tangannya kembali kebas akibat kecepatannya hitungnya bertambah tiga kali lipat dari biasanya. “Gila, sengit banget!” ucapnya frustasi.

Jevana tertawa seraya mengetuk-ngetuk pulpennya ke meja, menatap sengit lawan terakhir mereka. tinggal satu langkah lagi mereka bisa mendapat gelar juara. satu langkah lagi mereka bisa membuat bangga keluarga. satu langkah lagi perjuangan mereka akan selesai dengan juara pertama.

“Semuanya harap didengar baik-baik. tekan bel setelah soal selesai ya.” semuanya mengangguk paham. tangan mereka sudah siap di atas kertas dengan pulpen yang juga sudah siap bergerak cepat.

“Diketahui a plus dua b sama dengan satu, b plus dua c sama dengan dua, dan b tidak sama dengan nol. jika a plus nb plus dua ribu delapan belas c sama dengan dua ribu sembilan belas, maka nilai n adalah.”

tet–

Itu suara bel dari kelompok lawan. Jevana yang baru saja ingin menekan memekik cukup kencang karena kalah cepat. mereka berenam begitu gugup mendengar jawaban dari kelompok lawan.

“Ya. berapa jawabannya?”

“Seribu sepuluh,” jawab salah satu anggota kelompok berkacamata itu dengan lantang yang sukses membuat senyum Jevana serta Marvel mengembang. “Oke, jawaban kita kunci.”

“Silahkan untuk para dewan juri apakah seribu sepuluh adalah jawaban yang tepat?” tanya pembawa acara dengan intonasi yang sangat mempermainkan perasaan mereka. takut, senang, semuanya campur aduk menjadi satu.

“Salah,” jawab juri laki-laki bertubuh besar dengan gelengan kepala.

“Sayang sekali. maka dari itu pertanyaan saya lempar untuk tim Jakarta.”

Dengan lantang Jevana berdiri, mengambil microphone yang tergeletak di atas meja dengan begitu yakin. “Jadi jawaban dari tim Jakarta?” tanya pembawa acara.

“Seribu sebelas,” jawab Jevana lantang. kini hanya suaranya berhasil meredam seluruh suara yang ada di dalam aula. membuatnya menjadi satu-satunya suara yang sukses membuat tingkat ketegangan semua orang di sana meningkat.

Hasan dan Candra saling memeluk satu sama lain. Marvel dapat dipastikan tengah tersenyum penuh bangga pada Jevana. sedangkan Nanda dan Zefa menatap intens gerak-gerik juri yang terlihat dibuat-buat.

“Jadi, untuk jawaban tim Jakarta, apakah benar? atau juga salah?” tanya pembawa acara.

Degupan jantung Jevana berdetak lebih cepat saat juri perempuan yang berada di tengah itu mengambil microphonenya. diketuknya microphone itu dua kali. “Benar,” jawabnya dengan senyum yang mengembang.

Teriakan yang sempat redam itu kembali menggema namun dengan jauh lebih kencang dari sebelumnya. Hasan dan Candra melompat dari kursi. Marvel berdiri seraya melayangkan satu pukulan ke udara. Nanda dan Zefa saling berpelukan satu sama lain.

Kini mereka semua berdiri, membentuk lingkaran saling berpelukan satu sama lain. tidak hanya tawa kemenangan ada juga tangis kebahagiaan di sana. tangis penuh rasa bangga pada diri sendiri yang berhasil membuktikan bahwa mereka bisa. bisa bersatu membuat suatu kemenangan.

“Gue bangga sama kalian. kalian bener-bener yang paling hebat!” ujar Marvel di sela-sela pelukan erat mereka. setelahnya mereka berlari ke arah Pak Theo yang tengah tersenyum bangga. dihantamnya tubuh Pak Theo dengan pelukan mereka semua. saling berebut agar mendapat ruang lebih untuk lebih leluasa memeluk guru pendampingnya itu. “Kalian keren. terimakasih sudah membuktikan kalau kalian bisa berubah.”

Suara terompet tahun baru menghantam indra pendengaran mereka. membuat mereka terpaksa melepas pelukan itu. di sana. orang tua mereka berada. saling membentangkan tangan lebar-lebar siap menerima pelukan putra mereka yang telah membuat bangga.

“Candra berhasil ibun, ayah!”

“Ayah ibu Hasan bisa, Hasan bisa menang.”

“Lihat ma, Jev menang lagi kali ini.”

“Marvel menang pa, ma…”

“Zefa berhasil ayah, bunda.”

“Bang Renja lo lihat ini kan? kita menang!!!!”

Itu suara mereka yang tengah berada di dalam dekapan orang tuanya masing-masing.

Hari itu. tujuh pemuda yang telah bertahan dari semua duka, semua masalah, semua tawa, semua tangis, semua yang terjadi selama mereka bersama telah sampai pada garis akhirnya. kini tujuh pemuda dengan satu anggota yang sudah menjadi sebuah bintang paling terang di tempatnya itu tengah tersenyum. senyum yang mungkin hanya mereka saja yang mengerti artinya.

“Bang Renja seharusnya lo bisa rasain ini juga.”

“Gue yakin Renja ada disini sama kita, dia pasti tadi ikut ngitung aljabar.”

“Bang kalo lo lihat ini, lo pasti sekarang lagi lompat-lompat sambil meluk kita satu-satu sambil bilang, adeknya abang emang nggak pernah mengecewakan!.” semuanya tertawa membayangi sosok Renjana yang terlihat begitu bahagia dengan senyum manisnya.

“Sekarang abang bisa tenang, karena perjuangan abang nggak sia-sia lagi.”

Terimakasih sudah mau mengerti

Langkah Hasan berjalan menuju lobby tempat Faris, ayahnya berada. jantungnya berdetak cepat karena ini sudah hampir satu bulan sejak ia tidak bertemu dengan ayahnya itu. langkahnya berhenti tepat di belakang sofa yang sedang diduduki seorang pria berkaos hitam yang tengah menatap lurus ke depan.

“Ayah?” panggilnya pelan, takut salah orang. Faris menoleh, mempertemukan netranya dengan netra si bungsu yang sudah lama tidak ia lihat lagi keadaannya. Hasan tersenyum kikuk ia benar-benar mati gaya berhadapan dengan ayahnya sekarang.

“Sini duduk,” titah Faris sedikit menggeser tubuhnya untuk memberikan ruang kosong untuk Hasan. Hasan mengangguk lalu mendudukan tubuhnya tepat di samping Faris.

Terdengar suara batuk yang sengaja dikeluarkan Faris untuk memecah keheningan diantara mereka. “Ayah boleh peluk kamu nggak?” ucapan Faris barusan sukses membuat Hasan membulatkan matanya, pasalnya baru kali ini ia dengar permintaan seperti itu dari sang ayah. dengan patah-patah Hasan mengangguk.

Tak lama kemudian dapat ia rasakan tubuh besar sang ayah sudah merengkuh tubuhnya, memberikan rasa hangat. tanpa sengaja Hasan tersenyum. menerima perlakuan lembut dari sang ayah adalah impiannya sejak dulu.

“Maafin ayah ya San, maaf ayah udah terlalu keras sama kamu.” Lidahnya terasa kelu, ia ingin menjawab namun takut nada getir yang akan keluar nantinya. ia tidak mau terlihat cengeng di depan sang ayah sekarang. akhirnya hanya anggukan yang dapat ia berikan.

“Iya, nggak apa-apa,” ucap Hasan setelah berhasil menormalkan nada suaranya sendiri. Faris tersenyum, walau ia tahu Hasan tidak bisa melihatnya sekarang.

Sekarang, mereka kembali terjebak dalam keterdiaman. minimnya konversasi yang mereka lakukan di rumah membuat mereka kini kebingungan mencari topik yang bisa dibahas. mereka terlalu jauh untuk sepasang ayah dan anak. dan Faris baru menyadari itu sekarang.

“San mau makan eskrim nggak? panas banget nih,” ujar Faris tiba-tiba. Hasan menggeleng. “Nggak, tadi habis makan eskrim sama adek-adek, takut batuk.” Faris membungkam mulutnya lalu mengangguk-angguk paham. kembali mencari topik yang bisa membuat anaknya bersuara.

“Kalau makan seafood mau nggak? sekalian makan siang.”

“Hasan alergi makanan laut yah,” ucapan Hasan sukses membuat Faris terdiam. ia benar-benar tidak tahu kalau anaknya memiliki alergi terhadap makanan laut. lalu ia menunduk. “Maaf ayah nggak tahu.”

Hasan paham. ia mengerti. tapi entah kenapa masih terasa begitu perih mengetahui bahwa hal penting buat dirinya itu tidak diketahui oleh Faris. seakan mereka adalah teman baru yang belum saling mengenal. “Maaf, ayah nggak tahu makanan yang Hasan suka atau Hasan lagi pengen makan apa.”

Hasan menautkan kedua jarinya, mencoba memahami kondisi sang ayah. “Hasan sebenernya udah makan siang sih, tapi kalau ayah nanya makanan kesukaan Hasan, Hasan paling suka seblak, hehe,” ujar Hasan diakhir cengiran di ujung kalimatnya.

Faris tersenyum. “Kamu mau seblak?” Hasan mengangguk. “Mau tapi yang pedes bangettt!”

“Yaudah ayo, kita keluar.” Hasan melongo sebentar lalu setelahnya ia mengangguk semangat. “Ayo!”

Tapi sebelum pergi ia terlebih dahulu mengabari adik-adiknya kalau ia akan pergi keluar sebentar sebelum ia menyusul ayahnya ke parkiran mobil.

Sekarang ia sudah di sebuah kedai seblak kaki lima tak jauh dari asrama bersama ayahnya. memesan dua buah mangkok seblak serta dua gelas es jeruk. tak lama pesanan mereka datang. mereka makan dalam diam tak berniat menjalin sebuah percakapan bersama, walau sebenarnya dalam benak masing-masing banyak sekali kata yang ingin dilontarkan satu sama lain.

Kini mereka sudah kembali ke asrama namun masih diam di dalam mobil. menatap lalu lalang siswa masuk dan keluar asrama untuk membeli jajanan di luar. “Ayah kesini cuma mau ketemu Hasan aja?” ucap Hasan memecah keheningan.

“Iya.”

“Nggak ada maksud lain kan?”

“Di mata kamu ayah kayak gitu ya?” Hasan diam. tak berniat membalas. “maaf ya San, ayah nggak sadar udah berbuat kayak gitu ke kamu.”

“Maaf selalu jadiin kamu sebagai orang yang ayah yakin bisa menggapai mimpi ayah yang belum terwujud dulu. sampai ayah lupa kalau kamu itu Hasan. bukan bayang-bayang ayah atau kakakmu.” “Kalau kamu juga punya hidupmu sendiri yang bebas kamu pilih sendiri jalannya mau kemana. maaf terlalu ngekang kamu karena ambisi yang ayah punya. ayah sadar, kalau ayah salah. ayah kesini mau minta maaf dan mau memperbaiki hubungan ayah sama kamu.”

“Kita lebih sering berantem dan beradu mulut sampai-sampai untuk cuma sekedar nanya kabar aja kita nggak pernah lakuin ya?” Faris terkekeh miris namun genggamannya pada setir mobil semakin mengeras.

Perkataan Faris barusan sukses membuat bulir air bening turun melewati pipinya. namun dengan cepat ia segera menghapusnya takut kalau Faris melihatnya menangis. “Hasan maafin. makasih udah mau ngerti Hasan.”

“Kalau ayah beneran udah berubah, Hasan minta tolong terima apapun hasil yang akan Hasan dapetin dari olimpiade ini,” ujar Hasan. sebenarnya ia juga sangat khawatir akan keputusan panitia mengenai lanjut atau tidaknya timnya untuk mengikuti olimpiade. ia juga sama seperti Marvel, Nanda serta Jevana yang sedari tadi pagi terlihat begitu khawatir. namun dengan sekeras yang ia bisa, ia harus menutupi rasa khawatirnya itu dengan mengajak Zefa bermain game dengan Candra sebagai tim hore di pertandingan mereka. mencoba mengalihkan pikiran-pikiran negatifnya ke sebuah game.

Faris termenung sebentar lalu menatap Hasan yang juga tengah menatapnya, lalu diusap surai hitam milik Hasan perlahan. “Iya, yang penting anak ayah udah berjuang. apapun hasilnya itu pasti yang terbaik,” jelasnya seraya tersenyum, menampilkan sederet gigi putihnya.

Melihat Faris yang terlihat begitu tulus, Hasan ikut tersenyum melihatnya lalu dengan segera menghamburkan sebuah pelukan untuk ayahnya itu. “Ayah, makasih banyak. Hasan hari ini seneng sekaligus lega. kayak rasanya beban di pundak Hasan itu tiba-tiba hilang, rasanya jadi ringan banget.”

“Alhamdulillah, ayah ikut seneng. sekarang yang penting buat ayah. anak ayah bahagia dan nggak ada lagi beban yang mengikuti di setiap langkahnya”

Hasan mengangguk. “Makasih sekali lagi ayah.”

“Hai.”

“Hai,” ujar Marvel tepat di depan gundukan tanah merah yang bunganya pun masih terlihat begitu segar. ditatapnya sebuah papan putih dengan tulisan hitam yang menghiasinya.

Arshaka Renjana bin Darma Askary

Marvel tersenyum seraya mengusap pelan papan nisan milik Renjana itu. “Gue akhirnya dateng Ja, dateng ke rumah baru lo,” ucap Marvel setelahnya. “lo gimana di sana? seneng nggak?”

Hasan dan lainnya hanya diam menatap Marvel yang kini tengah berbicara satu arah dengan Renjana. rasanya begitu sesak namun air mata mereka seakan habis tak bersisa. mereka sudah terlalu banyak menangis.

“Keinginan lo buat ketemu gue sebelum pergi nggak dikabulkan Tuhan ya Ja?” Marvel menggigit bibirnya getir. memejamkan matanya, lalu kembali ia buka diiringi dengan senyum yang jelas sekali ia paksakan. “sekarang gue ada di sini, buat nemuin lo.”

“Gue baik-baik aja, maaf dari kemarin gue hilang nggak ada kabar dan bikin lo khawatir.”

“Maaf nggak ada di saat-saat terakhir lo Ja.”

“Maaf…”

Marvel terkekeh lalu sedikit memukul tanah di depannya itu pelan. “Lo mah enak sekarang nggak susah-susah belajar lagi, udah nggak mikirin materi-materi yang susah banget itu, nggak pusing mikirin yang lain kalo pada susah banget disuruh makan.”

“Sekarang tugas lo disini udah selesai ya? lo harus seneng-seneng ya di sana. jangan bikin usaha kita buat ikhlasin lo pergi kalo lo-nya nggak seneng disana.”

“Jangan ngerasa bersalah ya Ja, gue nggak apa-apa.”

“Tunggu kita bawa medali sama piala buat lo ya Ja, tunggu kita menang.”

Nanda berjalan ke arah Marvel yang kini tengah menunduk menyembunyikan tangis yang mati-matian ia tahan sedari tadi. namun sayang, tubuhnya yang bergetar seakan tak mengizinkan ia menangis sendirian sore ini. dirasakannya tangan seseorang mengelus punggungnya pelan berusaha memberi ketenangan.

“Sabar ya bang, sabar…” ujar Nanda pelan. ia takut Marvel kembali marah padanya. namun sepertinya ia salah, tangis Marvel malah semakin besar dan lantang. susah payah Nanda mencoba membentengi diri namun melihat Marvel yang terlihat sangat rapuh di hadapannya membuat benteng pertahanannya runtuh seketika.

Direngkuhnya tubuh itu erat-erat. “Jangan gini bang…,” ucapnya lirih. “jangan gini, nanti bang Renja ikut sedih.” Marvel membalas pelukan Nanda, menenggelamkan kepalanya pada dada Nanda menangis di sana. “gue…gue nggak kuat Nan…sakit banget,” jawab Marvel di sela isakannya. sedangkan Nanda ia masih setia mengelus punggung Marvel dengan tatapan nanar ke arah makam Renjana. bang, lihat semuanya hancur waktu lo pergi. nanti sering-sering datang ketemu kita ya, sering-sering sapa kita, gue tunggu.

Yang bisa Marvel rasakan tubuhnya menghangat sekarang. ternyata yang lain ikut masuk pada pelukan pilu yang dirinya dan Nanda lakukan barusan. saling menguatkan satu sama lain bahwa mereka semua bisa laluin ini semua dan semuanya akan baik-baik saja nantinya.

“Kita jangan gini terus, nanti bang Renja nggak senyum di sana. tau sendiri kan bang Renja itu yang paling sensitif kalalu adek-adeknya nangis. dia pasti ikut nangis. coba bayangin kalau bang Renja lihat kayak gini, pasti dia ikut nangis juga,” ujar Jevana sembari mengusap-usap bahu mereka satu persatu perlahan.

“Udah ya? masih banyak yang harus kita lakuin sekarang. dan gue yakin bang Renja pasti nggak mau lihat kita terus-terus sedih karena dia. nanti dia malah jadi merasa bersalah. padahal niat dia pergi buat cari bahagianya eh malah lihat kita kayak gini.”

Marvel akhirnya melepaskan pelukannya pada Nanda. meninggalkan jejak basah pada baju putih milik Nanda. manik matanya kembali menatap nanar makam Renjana. “Maaf Ja, maaf bikin lo sedih.” Marvel lantas segera menghapus jejak air matanya. “nggak, gue nggak nangis kok. tuh liat muka gue kering, nggak basah.”

Zefa yang melihatnya sedikit tertawa, terkadang Marvel ini memang kekanak-kanakan di suatu momen. tapi di momen lainnya ia bisa jadi yang paling dewasa. Jevana juga ikut tersenyum, lalu mengajak Marvel bangkit dari duduknya. “Ayo bang, udah sore kita harus pulang.” Marvel mengangguk. “Ja, kita pamit pulang dulu ya? kita mau nerusin perjuangan lo juga buat olim ini.”

“Doain kita berhasil ya?” ujar Marvel. ia sempatkan untuk kembali mengusap papan nisan Renjana terlebih dahulu sebelum tubuhnya dirangkul Jevana untuk segera kembali ke mobil. meninggalkan Hasan yang sengaja memilih untuk keluar terakhir. “Bang kita pamit, maaf udah bikin lo sedih lagi hari ini.”

“Gua percaya setelah ini akan ada pelangi yang akan muncul di tengah awan mendung yang lagi kita rasain sekarang. gua pulang dulu ya, bye bang.”

Hancur berkeping

Hanya suara derap langkah yang menemani jalan mereka menuju ruang rawat Marvel berada. Rasa duka atas perginya Renjana belum juga sirna dari benak mereka semua. Rasa sakitnya masih terasa begitu jelas.

Namun mereka harus berpura-pura biasa saja, agar Marvel tidak curiga dan membuat keadaannya malah memburuk. Tak terasa mereka sudah berada di depan ruang rawat Marvel. suara tawa Marvel yang tengah berbincang dengan Tama ayahnya terdengar sampai luar membuat mereka sontak tersenyum mendengarnya.

“Jangan sampai keliatan sedih awas aja,” ujar Hasan sebelum membuka pintu kamar Marvel.

“Woi bang!” panggil Jevana kencang saat baru saja menginjakkan kaki di kamar Marvel yang pemiliknya kini tengah membaca buku. ya buku. si ambis itu tidak pernah mau melewatkan satu harinya tanpa sebuah buku untuk ia baca. katanya, rugi kalau lo sehari nggak dapat ilmu “Buset dah, lo lagi sakit masih aja demen baca buku? nggak pusing apa ya. gua mah–”

“Itu lo San, ini bang Marvel. yang nggak pernah ada kata pusing kalo baca buku. gue juga heran.” timpal Jevana cepat memotong ucapan Hasan. Hasan hanya tertawa seraya mengangguk.

“Berisik lo pada,” sewot Marvel yang langsung menutup bukunya dan meletakkannya pada lemari kecil di samping tempat tidur. “ganggu.”

“Tuhkan dibilang ganggu. ya udah lah pulang aja,” gerutu Candra pura-pura marah. membuat Marvel gelagapan. “Ehh, nggak. itu bercanda doang elah,” jawab Marvel cepat. ia tidak mau terjadi salah paham karena bercandanya itu.

Nanda dan Zefa, dua orang itu hanya tertawa melihat interaksi keempat pemuda di hadapannya. sedangkan Tama, ia tadi pamit keluar memberi waktu untuk teman-teman Marvel berbincang secara puas pada anaknya itu.

Mereka semua berusaha mencari ribuan topik untuk dibicarakan pada Marvel. agar pemuda itu tidak membahas tentang Renjana. namun mereka salah, Marvel dan Renjana itu bagai perangko yang sangat lengket. jika yang satu tidak ada makan akan begitu berasa.

“Jadi, Renjana udah sadar belum?” Pertanyaan Marvel barusan membuat semua yang sedang tertawa sontak berhenti seketika. “udah apa belum?” tanya Marvel yang mulai merasa ada yang janggal dari mereka.

“Udah bang,” jawab Jevana membuat Marvel tersenyum lega. dapat mereka lihat jelas bahwa Marvel tengah berucap syukur walau tidak bersuara sekalipun. “gue mau lihat dia dong!”

Hasan menetralkan gugupnya cepat, agar Marvel tidak curiga. “Udah pulang bang, sekarang dia lagi istirahat aja makanya nggak ikut.” Marvel menghela nafasnya kecewa, lalu mengangguk-angguk paham. “oke.”

Dalam hati mereka berucap banyak syukur karena Marvel tidak mengorek lebih jauh tentang Renjana. melihat suasana menjadi aneh Marvel mengamati setiap gerak gerik adik-adiknya secara diam-diam. Mereka memang baru sebentar bersama, namun cukup membuat Marvel mengenali kebiasaan mereka kalau tengah berbohong.

“Kalian nyembunyiin sesuatu dari gue ya?” tanya Marvel to the point. merasa tak mendapat jawaban Marvel kembali bersuara. “kok diem?”

“Woi? gue nanya loh ini?”

“Sumpah anjir lo pada kenapa?”

“Ini kenapa? Renjana nggak apa-apa kan? dia udah sehat kan?”

“Tadi kalian bilang dia juga udah pulang, berarti udah nggak apa-apa. terus yang kalian sembunyiin apa?” tanya Marvel gemas karena adik-adiknya hanya diam.

“Wah gila, lo semua pada mendadak bisu bareng-bareng ya?” tanya Marvel lagi dengan nada frustasi karena tak kunjung mendapat jawaban. sedangkan yang lain lidah mereka mendadak kelu, jantung mereka berdegup lebih cepat. terlalu susah untuk mengeluarkan suara.

“Kalo lo pada nggak bisa jawab, gue bakal telepon Renja,” ancam Marvel yang setelahnya mengeluarkan ponselnya yang disimpan Tama di dalam lemari kecil di samping tempat tidurnya.

“Percuma bang,” jawab Hasan cepat. membuat tatapan tak percaya keluar dari wajah ketiga pemuda lainnya yang sedari tadi diam.

“Percuma kenapa? dia kan udah pulang, pasti lagi megang ponsel sekarang.”

“Percuma nggak akan diangkat.” Marvel menaikan satu alisnya. “Ponselnya lowbat? rusak?”

“Ponselnya nggak apa-apa, tapi bang Renjanya yang nggak bisa.”

“Kenapa?”

“Ya nggak bisa?”

“Ya nggak bisa kenapa anjir? dia udah sehat, ponselnya baik-baik aja, terus alasan dia nggak bisa jawab telepon gue apa? alasan lo nggak masuk logika.”

“Dia udah nggak sama kita bang.”

“Ya emang nggak sama kita, dia ada di asrama, kita ada di rumah sakit.”

“Gua tahu lo pinter. lo tahu maksud gua apa, jangan pura-pura bego,” jawab Hasan. “gua tahu lo mencoba menyangkal pikiran buruk yang sangat lo hindari. tapi itu kenyataannya.”

Marvel tertawa kecil. “Sok tahu lo, sejak kapan lo bisa baca pikiran gue? dukun lo?”

“Raut wajah lo nggak pernah bisa bohong,” jawab Hasan lagi tak mau kalah. “bang Renja udah nggak ada, dia udah pulang. bukan ke asrama ataupun rumahnya. dia udah pulang ke tempat yang jauh yang nggak akan bisa kita jangkau,” jelas Hasan.

“Gua rasa ini udah sangat jelas buat lo. nggak usah nolak kenyataan. karena nyatanya lo bukan Tuhan yang bisa merubah takdir sesuai yang lo harapkan,” lanjut Hasan lagi.

“Ini bukan april mop, lo nggak usah nge-prank kayak ini,” jawab Marvel masih mencoba menyangkal.

“Muka gua keliatan bercanda ya bang?” Kalau boleh jujur wajah Hasan sekarang terlihat menyeramkan. ia benar-benar lugas dalam setiap ucapannya, terasa sangat yakin dalam pendengaran Marvel.

Marvel meremas rambutnya kencang. lalu kemudian dia tertawa menatap satu persatu mata di hadapannya. “RENJANA MANA?! JANGAN BERCANDA DONG ANJING!” teriak Marvel lalu membuka ponselnya mencari nomor Renjana lalu menghubunginya. bibirnya bergetar menunggu seseorang yang sedang ia hubungi mengangkat panggilan teleponnya, menyangkal semua perkataan lima orang di depannya. “angkat dong anjing.”

“Sejak kapan orang yang udah meninggal bisa angkat telepon bang? baru tahu gua.” Marvel sengaja menulikan pendengarannya berusaha mengabaikan kata demi kata sarkas yang keluar dari mulut Hasan. sudah lebih dari sepuluh kali ia menghubungi Renjana namun tak ada satupun tanda-tanda akan diangkat.

“Udah? puas? udah puas nyari pembenaran untuk diri sendiri? udah dapat jawabannya belum?” tanya Hasan lagi kali ini dengan bibir yang ikut bergetar. pertahanan yang ia jaga sedari tadi dengan mengeluarkan kata-kata yang terdengar kasar kepada Marvel seakan sia-sia.

Sedangkan Marvel dia menjerit, melemparkan semua bantal yang ada pada kasurnya ke sembarang arah, memaki dirinya sendiri yang tidak bisa bertemu Renjana bahkan di saat terakhirnya. “Tolol Marvel tolol!”

“Gue mau ketemu Renja, gue mau minta maaf ke dia,” ujar Marvel menggebu-gebu, nafasnya naik turun tak beraturan. air matanya sudah berhasil membasahi seluruh wajah. kemudian ia berusaha mencabut infusan pada tangannya.

“Bang jangan gila!” teriak Jevana. sedangkan Nanda sudah lebih dahulu menahan tangan Marvel untuk bertindak lebih jauh. “Sabar bang, gue tahu lo terpukul tapi sekarang kesehatan lo nomor satu. jangan gegabah.”

“LO BISA BILANG KAYAK GITU KARENA LO MASIH ADA KESEMPATAN KETEMU DIA!” teriak Marvel histeris menatap nyalang ke arah Nanda. “gue….” ujar Marvel getir seraya menunjuk dirinya sendiri. “buat liat dia dari jauh aja nggak sempet….” lanjutnya lagi dengan lirih.

“Buat ucapin selamat tinggal aja gue nggak sempet…,” ucap Marvel lagi lalu setelahnya penglihatannya memudar, kepalanya seketika merasa pening. “Bang?” panggil Jevana pelan.

“Bang Marvel.” diguncangnya tubuh Marvel pelan. “Zefa cepet panggil dokter! bang Marvel pingsan!” titah Nanda cepat pada Zefa. sedangkan Hasan, pemuda itu kini sudah terduduk lemah seraya bersandar pada dinding kamar Marvel. menatap kosong ke arah orang-orang yang kini tengah panik mengecek keadaan Marvel sekarang.

“Marvel nggak apa-apa, dia cuma shock aja,” ujar dokter yang baru saja mengecek keadaan Marvel. terdengar helaan nafas lega dari semua insan di sana. lalu setelah dokter keluar, Tama menghampiri Hasan yang masih setia bungkam.

“Sabar ya nak? Hasan anak yang kuat, pasti bisa laluin ini semua,” ucap Tama seraya mengusap lembut bahu Hasan.

Pergi dan Kembali

Kini suasana cukup tenang, hanya terdengar suara langkah kaki perawat dari luar. sedangkan Renjana dengan tenang mengunyah sepotong apel yang sudah dipotong oleh Naura di sampingnya.

“Udah ibu, Renja udah kenyang,” ujar Renjana kala Naura hendak memberinya sepotong lagi. Naura tersenyum lalu mengangguk. “Yaudah, ini minum dulu.”

“Makasih ibu…” Melihat Naura menunduk dengan bahu yang sedikit naik turun membuat Renjana tahu bahwa ibunya kini tengah menahan tangis yang akan keluar. semalam Naura sudah menceritakan semuanya alasan yang membuatnya membenci Renjana selama ini.

Malam itu juga Renjana dengar nada penyesalan dari setiap ucapan Naura yang menganggap dirinya anak dari selingkuhan Darma. tidak bohong bahwa hatinya juga terluka mendengar penuturan kejujuran dari sang ibu. namun ia mencoba mengerti, bahwa menjadi Naura saat itu juga tidaklah mudah.

Dengan senyum tipis Renjana hadiahkan untuk sang ibu, meyakinkan bahwa ia tidak apa-apa dan itu hanya masa lalu yang cukup disimpan dan tidak perlu diungkit lagi. yang penting sekarang ibunya sudah ada bersama dengannya, itu lebih dari sekedar cukup untuk Renjana.

“Ibu…” panggil Renjana. Naura menoleh menatap putranya yang keadaannya kini jauh lebih baik. “Kenapa sayang?”

“Ibu… tolong beri Nanda kasih sayang yang sama kayak Renja ya?” permintaan Renjana barusan sukses membuat Naura bungkam. jujur dalam lubuk hatinya, setiap ia melihat Nanda bayangan kejadian tujuh belas tahun yang lalu selalu kembali terbayang dalam pikirannya. membuat perih pada hatinya kembali terasa. Naura menarik nafasnya panjang.

“Renjana tahu berat untuk ibu, tapi dicoba ya bu? Nanda hadir itu sudah takdir dari Tuhan, dia bukan kesalahan yang harus kita benci,” lanjut Renjana. “Renjana tahu ibu orang baik, dan Renjana yakin ibu pasti bisa terima Nanda nanti.”

Naura mengangguk dalam hatinya ia juga menyetujui apa yang barusan putranya katakan. Nanda lahir karena takdir. “Iya sayang, ibu coba ya?” Renjana tersenyum lalu segera memeluk tubuh Naura erat.

Tidak lama, suara ketukan pintu terdengar membuat Renjana melepas pelukan singkat itu. melihat siapa yang datang pagi-pagi. Suara riuh menyapa pendengarannya setelah pintu terbuka, menampilkan sosok yang sudah mengisi hari-harinya sebulan terakhir ini. sosok yang membuat dia sedikit melupakan masalah-masalah serta sakit yang ia rasakan di rumah.

“SELAMAT ULANG TAHUN ABANG!!” Renjana membuka mulutnya lebar, tatapannya terkejut tidak bisa ia sembunyikan lagi. lantas dengan segera ia mengecek ponselnya melihat tanggal disana lalu tertawa. “Ya Allah, aku lupa hari ini ulang tahun,” ujarnya.

It’s okay abangggg, sini make a wish dulu!” ujar Candra yang dengan gembira membawa kue yang mereka pesan sebelum ke sini. tentunya sudah dihiasi dengan sebuah lilin angka delapan belas di atasnya. Renjana hanya tertawa melihat hanya ada tulisan ‘HBD’ pada kue putih itu. namun hatinya begitu senang. baru kali ini ia merasakan ulang tahunnya dirayakan.

Lilin sudah mati. tepat setelahnya Darma masuk ke dalam ruangan membawa sebuah kue juga ditangannya. “Waduh, bapak telat nih ceritanya?” lantas semuanya tertawa menanggapi ucapan Darma.

“Nggak bapak, nggak telat sama sekali,” jawab Renjana yang kini wajahnya begitu bahagia. senyumnya tidak pernah luntur dari wajahnya.

“Maaf Renja, ibu lupa ulang tahun kamu,” lirih Naura pelan. Renjana menggenggam tangan Naura. “Nggak apa-apa ibu, ada ibu di ulang tahun Renja kali ini itu adalah hadiah paling baik yang Tuhan kasih ke Renja,” jawab Renjana jujur. lantas Naura tersenyum lalu mengangguk. “Makasih ya sayang.”

Acara ulang tahun Renjana berjalan lancar. kue yang dibeli Darma serta Hasan dan kawan-kawan kini sudah habis tak bersisa. sekarang mereka sedang duduk sambil bercengkrama ria, saling berbagi tawa yang sudah lama tidak mereka lakukan. Sedangkan Naura, wanita itu kini tengah merapikan perlengkapan Renjana untuk pulang nanti sore.

“Makasih ya semua, aku kaget banget kalian tahu ulang tahun aku.”

“Nggak sengaja abang, kemarin aku nggak sengaja liat di data abang kalau hari ini abang ulang tahun.” Renjana hanya tersenyum lalu mengangguk-anggukkan kepalanya. namun ia baru merasakan ada yang kurang hari ini.

“Loh iya, bang Marvel mana?” sontak pertanyaan Renjana barusan membuat suasana ceria itu berubah menjadi sunyi yang mencekam. membuat Renjana menautkan kedua alisnya bingung. “kemana?” tanyanya lagi.

Terjadi diam cukup lama sampai Darma akhirnya bersuara. “Dia ada urusan sama papanya Renja.” Sontak semuanya kembali bernafas lega dan mengucapkan banyak rasa terimakasih kepada Darma yang telah menolong mereka hari ini dalam hati. lalu semuanya mengangguk.

“Masalah apa sih, lama banget perasaan?” Hasan hanya mengedikkan bahu tanda tidak tahu. Renjana hanya bisa membuang nafasnya kasar. ia sudah begitu rindu ingin bertemu dengan abang satunya itu. sejak ia sadar, ia tidak lagi melihat batang hidung Marvel dalam netranya. “Ponselnya mati juga ya?” Lalu Jevana mengangguk. “Gue juga susah hubungin dia bang.”

Setelah yakin Renjana telah percaya akan rekayasa yang mereka buat lantas mereka kembali berbicara banyak sekali setelahnya. Renjana hanya bagian menyimak saja, ia hanya duduk bersandar seraya menatap satu-satu insan yang menjadi alasannya untuk terus berucap syukur kepada Tuhan karena sudah mempertemukannya dengan mereka.

Pemandangan yang kini ia lihat akan ia simpan dalam memorinya, ia ingin membawa semua kenangan ini bersamanya selamanya. Namun dalam lamunannya dadanya kembali terasa nyeri, dadanya terasa kembali sesak. cukup lama ia berusaha mengatur detak jantungnya dalam diam tidak berniat ingin meminta bantuan.

Namun seakan sudah diatur oleh sang pencipta, Hasan bangkit dari duduknya dengan niat ingin mengambil segelas air yang terletak tepat di samping ranjang Renjana. sontak terlonjak kaget melihat Renjana kini tengah kesusahan bernafas.

Teriakan panik Hasan membuat semua perhatian yang berada dalam ruangan tertuju pada Renjana. dengan cepat Darma berlari mendekat ke arah Renjana. berniat ingin menekan tombol untuk memanggil dokter. namun dengan cepat Renjana menahan pergerakan Darma.

“N..nggak u..sah pak,” lirih Renjana tertatih karena pasokan oksigen yang semakin susah memasuki tubuhnya. Naura hanya bisa menutup mulutnya menahan tangis yang hendak ingin keluar. Darma diam pada tempatnya namun dadanya bergemuruh hebat. rasa takutnya menjalar ke seluruh tubuhnya sekarang.

Darma menggenggam tangan Renjana kuat-kuat seraya menahan tangis yang juga akan keluar. ia tidak suka situasi ini. situasi yang ia takutkan sedari kemarin. banyak sekali rapal permohonan kepada sang pemegang kuasa atas dunia dan seisinya bahwa, jangan sekarang saya masih butuh dia.

Renjana membalas genggaman itu seraya menggenggam juga tangan Naura di samping kirinya. memberi senyum sehangat yang bisa agar ibunya tidak khawatir, agar ibunya bisa tenang. Nafasnya sedikit kembali teratur namun dalam tempo lebih lambat. “Ibu…Renja baik-baik aja, ibu jangan nangis.” Namun ucapannya itu malah membuat tangis Naura semakin nyata.

Tatapan Renjana kini menatap kelima adiknya yang juga tengah menahan tangis. Hasan yang menunduk dengan bahu bergetar, Candra yang secara terang-terangkan menumpahkan air matanya di depan Renjana, Zefa yang setia menutup mukanya, Jevana yang membuang muka ke tempat lain asal tidak terjalin kontak mata dengan Renjana, dan Nanda yang hanya diam dengan tatapan lurus ke Renjana.

“Kalian semua jangan nangis, abang nggak apa-apa.” Namun serempak mereka menggeleng. membantah penuturan Renjana.

“Makasih ya udah hadir dalam hidup abang.” Ucapan Renjana lagi membuat tangis yang sedari tadi mereka tahan pecah menjadi sebuah vokal yang menyayat hati.

“Jangan lupa makan ya?” Renjana terkekeh mengingat bahwa ia sudah lama tidak mengucapkan kata itu lagi. “jaga kesehatan, karena itu yang nomor satu.”

Mereka semua mendekat ke arah Renjana, memeluk tubuh ringkih itu perlahan. menumpahkan segala rasa yang kini sudah begitu campur aduk. sedangkan Renjana hanya bisa tersenyum, sembari mengelus surai mereka satu persatu secara perlahan.

“Abang sayang banget sama kalian.” Pelukan terlepas kemudian Renjana menarik nafasnya perlahan. “Salam buat bang Marvel, abang kangen banget sama dia. tapi abang rasa kita udah nggak bisa ketemu lagi nanti.”

Tatapan Renjana beralih pada Darma yang berada di belakang. “Bapak… terima kasih sudah beri Renjana kasih sayang untuk pertama kalinya.” Renjana tersenyum. “sekarang Renjana mau jemput bahagia Renja, boleh kan pak?” lirih Renjana suaranya semakin pelan

Darma menutup mulutnya, memutus kontak mata dengan Renjana. kakinya melemas namun ia tidak punya pilihan lain untuk bertahan. dengan berat hati ia anggukkan kepalanya mengabaikan gelengan kuat yang diberikan semua insan di sana. yang ia tahu sekarang ia harus memberi anaknya bahagia. bahagia yang selama ini ia cari.

Renjananya sudah cukup banyak menanggung duka, menanggung luka. baik fisik maupun batin. mungkin ini saatnya Renjananya istirahat dari semua hal jahat yang selama ini ia rasakan. Renjananya sudah lelah.

“Boleh sayang, Renjana boleh ketemu bahagia.” Renjana tersenyum di sela nafasnya yang semakin tersendat.

“Ba...pak tun..tun Ren…ja ya?” ucap Renjana patah-patah. Tangis yang sedari ditahan semuanya keluar tanpa aba-aba. seakan sudah saatnya ia meluncur deras tanpa ada yang berhak menghentikan. Darma memaksakan senyumnya, ia mau mengantar Renjana dengan senyuman walau itu penuh paksa.

Dengan tergagap Darma paksakan untuk bersuara, tangannya mengusap surai lembut Renjana dengan senyum getirnya. “Iya sayang, bapak tuntun ya?” Renjana tersenyum lalu mengangguk.

Namun sebelum itu Renjana sempatkan untuk kembali melihat satu persatu wajah di hadapannya ini. sembari berkata lewat tatapan bahwa ia bahagia. kalian jangan nangis, abang pergi karena mau ketemu bahagia.

Darma menari nafasnya dalam. menghilangkan getir pada suaranya. Ia usap surai itu. “Laa ilaa…”

“Laa ilaa…”

Suara Darma tercekat, hatinya hancur berkeping-keping.

“ha illallah”

“ha…illallah”

Darma menggigit bibirnya kencang, perlahan mata Renjana tertutup bersamaan pula dunianya hancur. anaknya pergi ke pangkuan sang pencipta lebih dahulu. tidak pernah terpikirkan bahwa ia harus menuntun Renjana seperti tadi. seakan ini semua hanya mimpi buruk dan ia ingin segera bangun dari mimpi buruk itu.

Erangan penuh pedih menggema di seluruh ruangan. Naura sudah terduduk lemas di lantai dingin dengan tangan bertopang pada sebuah lemari kecil di sampingnya. Darma, ia hanya bisa diam dengan tatapan kosongnya dengan tangan yang masih setiap mengusap surai Renjana. sedangkan kelima pemuda yang juga kini hancur hanya bisa menangis.

“BANG RENJA BANGUN!” teriak Hasan histeris. suara seraknya yang penuh dengan duka itu menggema, mengguncang-guncang tubuh Renjana kencang seakan jika ia melakukan itu Renjana akan terbangun.

“BANGUN BANG, PERJUANGAN KITA BELUM SELESAI KAN?!”

“BANGUN!”

“BANG RENJA BANGUN!” teriaknya sekali lagi sebelum ia ikut tumbang, terjatuh bersimpuh di samping ranjang Renjana.

Sedangkan Nanda, ia bersimpuh di samping tubuh kaku Renjana, tangisnya tidak bersuara. namun sesak di dadanya begitu nyata terasa. bang gue janji akan jaga bapak sama ibu sesuai permintaan lo, tapi lo harus bahagia disana ya? batin Nanda.

Sedangkan Zefa dan Candra memeluk erat Jevana yang juga tengah hancur. mereka bertiga saling menguatkan satu sama lain. menangis bersama dalam pelukan yang begitu menyedihkan.

“Bang janji lo buat kita pegang piala sama-sama belum terwujud…” ujar Hasan lagi yang terlihat lebih tenang namun ia terlihat begitu hampa. tatapannya sama seperti Darma, kosong.

Renjana memang bilang ia akan pulang. namun bukan pulang seperti yang mereka harapkan. tapi pulang seperti yang Renjana harapkan. Renjananya sudah ketemu bahagia yang ia cari, tidak ada sakit, tidak ada duka lagi yang akan menghampirinya. namun yang Renjana tidak tahu, ia meninggalkan duka serta sakit untuk orang yang menyayanginya.

Renjana si anak baik yang selalu menjadi seseorang pertama yang dicari adik-adiknya kala mereka butuh bantuan, orang yang selalu menjadi sosok ibu bagi mereka saat di asrama, menjadi pendukung mereka dari belakang itu kini sudah tidak ada lagi di dunia.

Renjana, pergi meninggalkan dunia di hari yang sama saat pertama kali ia datang ke dunia.

Dan disaat yang sama, di jam dan detik yang sama saat Renjana pergi untuk selama-lamanya seorang pemuda lain yang sedari kemarin diharapkan hadirnya kembali. kini sudah kembali sepenuhnya. kembali menatap dunia yang sempat hampir ia tinggalkan.

“Ananda Marvel sudah sadar pak.”

Datang dan Kembali

Kini suasana cukup tenang, hanya terdengar suara langkah kaki perawat dari luar. sedangkan Renjana dengan tenang mengunyah sepotong apel yang sudah dipotong oleh Naura di sampingnya.

“Udah ibu, Renja udah kenyang,” ujar Renjana kala Naura hendak memberinya sepotong lagi. Naura tersenyum lalu mengangguk. “Yaudah, ini minum dulu.”

“Makasih ibu…” Melihat Naura menunduk dengan bahu yang sedikit naik turun membuat Renjana tahu bahwa ibunya kini tengah menahan tangis yang akan keluar. semalam Naura sudah menceritakan semuanya alasan yang membuatnya membenci Renjana selama ini.

Malam itu juga Renjana dengar nada penyesalan dari setiap ucapan Naura yang menganggap dirinya anak dari selingkuhan Darma. tidak bohong bahwa hatinya juga terluka mendengar penuturan kejujuran dari sang ibu. namun ia mencoba mengerti, bahwa menjadi Naura saat itu juga tidaklah mudah.

Dengan senyum tipis Renjana hadiahkan untuk sang ibu, meyakinkan bahwa ia tidak apa-apa dan itu hanya masa lalu yang cukup disimpan dan tidak perlu diungkit lagi. yang penting sekarang ibunya sudah ada bersama dengannya, itu lebih dari sekedar cukup untuk Renjana.

“Ibu…” panggil Renjana. Naura menoleh menatap putranya yang keadaannya kini jauh lebih baik. “Kenapa sayang?”

“Ibu… tolong beri Nanda kasih sayang yang sama kayak Renja ya?” permintaan Renjana barusan sukses membuat Naura bungkam. jujur dalam lubuk hatinya, setiap ia melihat Nanda bayangan kejadian tujuh belas tahun yang lalu selalu kembali terbayang dalam pikirannya. membuat perih pada hatinya kembali terasa. Naura menarik nafasnya panjang.

“Renjana tahu berat untuk ibu, tapi dicoba ya bu? Nanda hadir itu sudah takdir dari Tuhan, dia bukan kesalahan yang harus kita benci,” lanjut Renjana. “Renjana tahu ibu orang baik, dan Renjana yakin ibu pasti bisa terima Nanda nanti.”

Naura mengangguk dalam hatinya ia juga menyetujui apa yang barusan putranya katakan. Nanda lahir karena takdir. “Iya sayang, ibu coba ya?” Renjana tersenyum lalu segera memeluk tubuh Naura erat.

Tidak lama, suara ketukan pintu terdengar membuat Renjana melepas pelukan singkat itu. melihat siapa yang datang pagi-pagi. Suara riuh menyapa pendengarannya setelah pintu terbuka, menampilkan sosok yang sudah mengisi hari-harinya sebulan terakhir ini. sosok yang membuat dia sedikit melupakan masalah-masalah serta sakit yang ia rasakan di rumah.

“SELAMAT ULANG TAHUN ABANG!!” Renjana membuka mulutnya lebar, tatapannya terkejut tidak bisa ia sembunyikan lagi. lantas dengan segera ia mengecek ponselnya melihat tanggal disana lalu tertawa. “Ya Allah, aku lupa hari ini ulang tahun,” ujarnya.

It’s okay abangggg, sini make a wish dulu!” ujar Candra yang dengan gembira membawa kue yang mereka pesan sebelum ke sini. tentunya sudah dihiasi dengan sebuah lilin angka delapan belas di atasnya. Renjana hanya tertawa melihat hanya ada tulisan ‘HBD’ pada kue putih itu. namun hatinya begitu senang. baru kali ini ia merasakan ulang tahunnya dirayakan.

Lilin sudah mati. tepat setelahnya Darma masuk ke dalam ruangan membawa sebuah kue juga ditangannya. “Waduh, bapak telat nih ceritanya?” lantas semuanya tertawa menanggapi ucapan Darma.

“Nggak bapak, nggak telat sama sekali,” jawab Renjana yang kini wajahnya begitu bahagia. senyumnya tidak pernah luntur dari wajahnya.

“Maaf Renja, ibu lupa ulang tahun kamu,” lirih Naura pelan. Renjana menggenggam tangan Naura. “Nggak apa-apa ibu, ada ibu di ulang tahun Renja kali ini itu adalah hadiah paling baik yang Tuhan kasih ke Renja,” jawab Renjana jujur. lantas Naura tersenyum lalu mengangguk. “Makasih ya sayang.”

Acara ulang tahun Renjana berjalan lancar. kue yang dibeli Darma serta Hasan dan kawan-kawan kini sudah habis tak bersisa. sekarang mereka sedang duduk sambil bercengkrama ria, saling berbagi tawa yang sudah lama tidak mereka lakukan. Sedangkan Naura, wanita itu kini tengah merapikan perlengkapan Renjana untuk pulang nanti sore.

“Makasih ya semua, aku kaget banget kalian tahu ulang tahun aku.”

“Nggak sengaja abang, kemarin aku nggak sengaja liat di data abang kalau hari ini abang ulang tahun.” Renjana hanya tersenyum lalu mengangguk-anggukkan kepalanya. namun ia baru merasakan ada yang kurang hari ini.

“Loh iya, bang Marvel mana?” sontak pertanyaan Renjana barusan membuat suasana ceria itu berubah menjadi sunyi yang mencekam. membuat Renjana menautkan kedua alisnya bingung. “kemana?” tanyanya lagi.

Terjadi diam cukup lama sampai Darma akhirnya bersuara. “Dia ada urusan sama papanya Renja.” Sontak semuanya kembali bernafas lega dan mengucapkan banyak rasa terimakasih kepada Darma yang telah menolong mereka hari ini dalam hati. lalu semuanya mengangguk.

“Masalah apa sih, lama banget perasaan?” Hasan hanya mengedikkan bahu tanda tidak tahu. Renjana hanya bisa membuang nafasnya kasar. ia sudah begitu rindu ingin bertemu dengan abang satunya itu. sejak ia sadar, ia tidak lagi melihat batang hidung Marvel dalam netranya. “Ponselnya mati juga ya?” Lalu Jevana mengangguk. “Gue juga susah hubungin dia bang.”

Setelah yakin Renjana telah percaya akan rekayasa yang mereka buat lantas mereka kembali berbicara banyak sekali setelahnya. Renjana hanya bagian menyimak saja, ia hanya duduk bersandar seraya menatap satu-satu insan yang menjadi alasannya untuk terus berucap syukur kepada Tuhan karena sudah mempertemukannya dengan mereka.

Pemandangan yang kini ia lihat akan ia simpan dalam memorinya, ia ingin membawa semua kenangan ini bersamanya selamanya. Namun dalam lamunannya dadanya kembali terasa nyeri, dadanya terasa kembali sesak. cukup lama ia berusaha mengatur detak jantungnya dalam diam tidak berniat ingin meminta bantuan.

Namun seakan sudah diatur oleh sang pencipta, Hasan bangkit dari duduknya dengan niat ingin mengambil segelas air yang terletak tepat di samping ranjang Renjana. sontak terlonjak kaget melihat Renjana kini tengah kesusahan bernafas.

Teriakan panik Hasan membuat semua perhatian yang berada dalam ruangan tertuju pada Renjana. dengan cepat Darma berlari mendekat ke arah Renjana. berniat ingin menekan tombol untuk memanggil dokter. namun dengan cepat Renjana menahan pergerakan Darma.

“N..nggak u..sah pak,” lirih Renjana tertatih karena pasokan oksigen yang semakin susah memasuki tubuhnya. Naura hanya bisa menutup mulutnya menahan tangis yang hendak ingin keluar. Darma diam pada tempatnya namun dadanya bergemuruh hebat. rasa takutnya menjalar ke seluruh tubuhnya sekarang.

Darma menggenggam tangan Renjana kuat-kuat seraya menahan tangis yang juga akan keluar. ia tidak suka situasi ini. situasi yang ia takutkan sedari kemarin. banyak sekali rapal permohonan kepada sang pemegang kuasa atas dunia dan seisinya bahwa, jangan sekarang saya masih butuh dia.

Renjana membalas genggaman itu seraya menggenggam juga tangan Naura di samping kirinya. memberi senyum sehangat yang bisa agar ibunya tidak khawatir, agar ibunya bisa tenang. Nafasnya sedikit kembali teratur namun dalam tempo lebih lambat. “Ibu…Renja baik-baik aja, ibu jangan nangis.” Namun ucapannya itu malah membuat tangis Naura semakin nyata.

Tatapan Renjana kini menatap kelima adiknya yang juga tengah menahan tangis. Hasan yang menunduk dengan bahu bergetar, Candra yang secara terang-terangkan menumpahkan air matanya di depan Renjana, Zefa yang setia menutup mukanya, Jevana yang membuang muka ke tempat lain asal tidak terjalin kontak mata dengan Renjana, dan Nanda yang hanya diam dengan tatapan lurus ke Renjana.

“Kalian semua jangan nangis, abang nggak apa-apa.” Namun serempak mereka menggeleng. membantah penuturan Renjana.

“Makasih ya udah hadir dalam hidup abang.” Ucapan Renjana lagi membuat tangis yang sedari tadi mereka tahan pecah menjadi sebuah vokal yang menyayat hati.

“Jangan lupa makan ya?” Renjana terkekeh mengingat bahwa ia sudah lama tidak mengucapkan kata itu lagi. “jaga kesehatan, karena itu yang nomor satu.”

Mereka semua mendekat ke arah Renjana, memeluk tubuh ringkih itu perlahan. menumpahkan segala rasa yang kini sudah begitu campur aduk. sedangkan Renjana hanya bisa tersenyum, sembari mengelus surai mereka satu persatu secara perlahan.

“Abang sayang banget sama kalian.” Pelukan terlepas kemudian Renjana menarik nafasnya perlahan. “Salam buat bang Marvel, abang kangen banget sama dia. tapi abang rasa kita udah nggak bisa ketemu lagi nanti.”

Tatapan Renjana beralih pada Darma yang berada di belakang. “Bapak… terima kasih sudah beri Renjana kasih sayang untuk pertama kalinya.” Renjana tersenyum. “sekarang Renjana mau jemput bahagia Renja, boleh kan pak?” lirih Renjana suaranya semakin pelan

Darma menutup mulutnya, memutus kontak mata dengan Renjana. kakinya melemas namun ia tidak punya pilihan lain untuk bertahan. dengan berat hati ia anggukkan kepalanya mengabaikan gelengan kuat yang diberikan semua insan di sana. yang ia tahu sekarang ia harus memberi anaknya bahagia. bahagia yang selama ini ia cari.

Renjananya sudah cukup banyak menanggung duka, menanggung luka. baik fisik maupun batin. mungkin ini saatnya Renjananya istirahat dari semua hal jahat yang selama ini ia rasakan. Renjananya sudah lelah.

“Boleh sayang, Renjana boleh ketemu bahagia.” Renjana tersenyum di sela nafasnya yang semakin tersendat.

“Ba...pak tun..tun Ren…ja ya?” ucap Renjana patah-patah. Tangis yang sedari ditahan semuanya keluar tanpa aba-aba. seakan sudah saatnya ia meluncur deras tanpa ada yang berhak menghentikan. Darma memaksakan senyumnya, ia mau mengantar Renjana dengan senyuman walau itu penuh paksa.

Dengan tergagap Darma paksakan untuk bersuara, tangannya mengusap surai lembut Renjana dengan senyum getirnya. “Iya sayang, bapak tuntun ya?” Renjana tersenyum lalu mengangguk.

Namun sebelum itu Renjana sempatkan untuk kembali melihat satu persatu wajah di hadapannya ini. sembari berkata lewat tatapan bahwa ia bahagia. kalian jangan nangis, abang pergi karena mau ketemu bahagia

Darma menari nafasnya dalam. menghilangkan getir pada suaranya. Ia usap surai itu. “Laa ilaa…”

“Laa ilaa…”

Suara Darma tercekat, hatinya hancur berkeping-keping.

“ha illallah”

“ha…illallah”

Darma menggigit bibirnya kencang, perlahan mata Renjana tertutup bersamaan pula dunianya hancur. anaknya pergi ke pangkuan sang pencipta lebih dahulu. tidak pernah terpikirkan bahwa ia harus menuntun Renjana seperti tadi. seakan ini semua hanya mimpi buruk dan ia ingin segera bangun dari mimpi buruk itu.

Erangan penuh pedih menggema di seluruh ruangan. Naura sudah terduduk lemas di lantai dingin dengan tangan bertopang pada sebuah lemari kecil di sampingnya. Darma, ia hanya bisa diam dengan tatapan kosongnya dengan tangan yang masih setiap mengusap surai Renjana. sedangkan kelima pemuda yang juga kini hancur hanya bisa menangis.

“BANG RENJA BANGUN!” teriak Hasan histeris. suara seraknya yang penuh dengan duka itu menggema, mengguncang-guncang tubuh Renjana kencang seakan jika ia melakukan itu Renjana akan terbangun.

“BANGUN BANG, PERJUANGAN KITA BELUM SELESAI KAN?!”

“BANGUN!”

“BANG RENJA BANGUN!” teriaknya sekali lagi sebelum ia ikut tumbang, terjatuh bersimpuh di samping ranjang Renjana.

Sedangkan Nanda, ia bersimpuh di samping tubuh kaku Renjana, tangisnya tidak bersuara. namun sesak di dadanya begitu nyata terasa. bang gue janji akan jaga bapak sama ibu sesuai permintaan lo, tapi lo harus bahagia disana ya? batin Nanda.

Sedangkan Zefa dan Candra memeluk erat Jevana yang juga tengah hancur. mereka bertiga saling menguatkan satu sama lain. menangis bersama dalam pelukan yang begitu menyedihkan.

“Bang janji lo buat kita pegang piala sama-sama belum terwujud…” ujar Hasan lagi yang terlihat lebih tenang namun ia terlihat begitu hampa. tatapannya sama seperti Darma, kosong.

Renjana memang bilang ia akan pulang. namun bukan pulang seperti yang mereka harapkan. tapi pulang seperti yang Renjana harapkan. Renjananya sudah ketemu bahagia yang ia cari, tidak ada sakit, tidak ada duka lagi yang akan menghampirinya. namun yang Renjana tidak tahu, ia meninggalkan duka serta sakit untuk orang yang menyayanginya.

Renjana si anak baik yang selalu menjadi seseorang pertama yang dicari adik-adiknya kala mereka butuh bantuan, orang yang selalu menjadi sosok ibu bagi mereka saat di asrama, menjadi pendukung mereka dari belakang itu kini sudah tidak ada lagi di dunia.

Renjana, pergi meninggalkan dunia di hari yang sama saat pertama kali ia datang ke dunia.

Dan disaat yang sama, di jam dan detik yang sama saat Renjana pergi untuk selama-lamanya seorang pemuda lain yang sedari kemarin diharapkan hadirnya kembali. kini sudah kembali sepenuhnya. kembali menatap dunia yang sempat hampir ia tinggalkan.

“Ananda Marvel sudah sadar pak.”