Ketika pelangi yang sesungguhnya datang
“BANG MARVEL!”
Marvel menoleh. suara itu, tatapan itu, tawa itu. ia sangat rindu. mereka semua berlari menghantam tubuh yang paling tua dengan cepat, membuat Marvel hampir saja terhuyung ke belakang.
“Gue kangen banget please sama lo,” ujar Jevana.
“Bang Marvel… Zefa juga kangen banget.”
“Ajakin band lo buat live music di cafe gue dong bang,” timpal Nanda setelahnya
“Etdah ini kenapa sesek banget sih. badan lo semua kenapa jadi gede-gede banget!” omel Hasan yang tubuhnya kini terjepit diantara Jevana juga Nanda.
“Ngaca dong anjir!” ujar Jevana sedikit menoyor kepala Hasan pelan. Marvel tertawa melihatnya dengan posisi ia masih memeluk erat Candra karena anak itu juga enggan melepas pelukannya. jujur, ia sangat rindu suasana ini. suasana yang mungkin nggak akan ia dapatkan dari orang lain.
“Yah, asramanya di tutup ya…” ujar Nanda sembari membaca sebuah tulisan besar di pintu. Marvel mengangguk. “Iya, padahal tadinya gue mau masuk, mau nostalgia. haha.”
“Yaudah nggak apa-apa. kita masih bisa keliling asrama dari luar aja kan?” ucap Jevana berniat menghibur.
Sekarang, mereka tengah berkeliling mengamati setiap detail bangunan serta halaman asrama. ada yang telah berubah, ada yang masih sama seperti dulu. contohnya area taman yang menjadi saksi bisu tawa yang mereka ciptakan satu sama lain. “Nggak berubah ya, haha. masih sama.”
“Pohon mangganya masih ada!” pekik Candra.
“Ih tambah besar,” balas Zefa.
“Ya iyalah, masa kecil terus,” timpal Hasan.
Setelah puas berkeliling sekarang perut mereka meronta minta di isi ulang. “Makan apa ya?” tanya Nanda yang kini mengambil alih kemudi. membiarkan Marvel untuk duduk di sampingnya.
“Soto aja yuk! kangen sotonya Pak Haji gua,” seru Hasan cepat yang langsung disetujui oleh mereka semua. “Okay! meluncur!”
Kini mereka sudah berada di kedai soto langganan mereka dahulu. tempatnya sudah lebih besar serta bagus dari sebelumnya. tapi yang membuat mereka kaget, Pak Haji pemilik kedai soto itu masih mengenal mereka. bahkan ia sempat tersentak kaget melihat mereka datang kembali ke kedai miliknya.
“Ya Allah mas, kemana aja sih, bapak tungguin nggak pernah dateng lagi,” tanya Pak Haji yang tiba-tiba ikut bergabung di meja mereka sembari mengantar soto pesanan. mereka semua tertawa. “Pulang pak ke Jakarta. kita kan dulu cuma siswa karantina yang tinggal di gedung Panca itu.”
Sepertinya mereka memang belum pernah memberitahu Pak Haji kalau mereka di sini hanya sebagai seorang tamu, bukan warga asli. karena wajah kaget Pak Haji jelas sekali kentara. “Bapak baru tahu loh, pantas saja. sejak bubaran itu nggak pernah liat kalian lagi,” jawabnya. “Loh tunggu, si mas yang kecil itu kemana? kok nggak ikut? biasanya dia selalu minta buat nggak dipakein toge. baru sadar bapak dia nggak ada.”
Lidah mereka mendadak kelu. tapi sebisa mungkin mereka menyembunyikannya lalu kembali tersenyum. “Orangnya udah nggak ada pak,” jawab Marvel pelan. Pak Haji mengerutkan alisnya tidak paham. “Maksudnya?”
“Udah meninggal.”
“Innalillahi.” Dapat mereka lihat jelas bahwa Pak Haji sangat terkejut mendapat kabar tentang Renjana. “kapan?”
“Lima tahun yang lalu, kira-kira seminggu sebelum bubaran.”
“Ya Allah… umur nggak ada yang tahu ya,” ujarnya lirih seraya menghela nafasnya. “Yaudah dimakan sotonya, maaf ya bapak jadi bikin suasana jadi sedih gini.”
Mereka sontak menggeleng. “Nggak pak, kita semua udah ikhlas kok. Renja juga udah bahagia di sana. masa kita nggak bahagia juga?” tukas Marvel. Pak Haji mengangguk lalu berpamitan pergi untuk kembali melayani pembeli lainnya.
Keenam pemuda itu kini tengah berjalan-jalan menghabiskan waktu mengelilingi kota Bandung. dengan radio dari mobil Marvel sebagai teman perjalanan mereka walau sebenarnya tidak didengarkan juga, karena mereka lebih memilih saling bertukar cerita perjalanan mereka hingga matahari hendak pergi untuk bergantian dengan bulan.
“Mau langsung pulang apa gimana nih? kalian kesini naik apa deh?” tanya Marvel.
“Bang serius mau pulang?” tanya Hasan yang tiba-tiba kepalanya ia majukan hingga tepat di samping Marvel. “Sanaan anjir, jangan deket-deket,” ucap Marvel.
“Emang mau kemana lagi? udah mau gelap ini, besok juga kan senin.”
“Kita belum ketemu bang Renja, bang Marvel,” jelas Zefa yang duduk paling belakang. sontak Marvel terdiam. bagaimana bisa ia melupakan Renjana. ia membuang nafasnya sedikit kasar. “Maaf… gue lupa.”
Nanda tersenyum. “Nggak apa lah bang, namanya juga manusia.” Mobil segera Nanda arahkan sebuah tempat yang sudah lima tahun tidak mereka kunjungi. jujur, padatnya sekolah serta pekerjaan mereka membuat mereka tidak sempat lagi mendatangi makam Renjana. kecuali Nanda. setiap hari raya pasti ia, Darma dan Naura selalu pergi bertemu Renjana.
Mobil sudah terparkir rapi pada parkiran. mereka segera turun lalu membeli tiga bungkus bunga serta air mawar untuk Renjana. berjalan perlahan memasuki area pemakaman. “Halo abang….” sapa Candra pelan. ukiran nama Renjana masih terlihat cantik di sana. tidak pudar sedikit pun. diusapnya perlahan lalu memori kenangan tentang Renjana kembali berputar pada masing-masing kotak memori mereka.
Tawa Renjana, marah Renjana, tangis Renjana, sakit Renjana. semua kembali mereka lihat dengan jelas. tanpa sadar mereka kembali menangis. jangka waktu lima tahun atau bahkan selamanya tidak akan mampu menghapus seberapa pentingnya sosok Arshaka Renjana di hidup mereka.
“Abang, gimana kabarnya?” tanya Jevana sembari menabur bunga di atas makam Renjana. “gue sekarang lagi magang di kantor bokap loh bang, keren kan?”
“Gue juga lagi magang loh bang, terus juga lagi sibuk skripsian juga,” timpal Hasan. “kalo lo masih di sini, mungkin lo udah kerja kali ya bang? lo mau jadi apa sih? lo belum pernah bilang ke kita-kita cita-cita lo apa. yang selalu lo bilang, lo cuma mau liat kita sukses aja. apa emang lo udah tahu ya kalo lo mau pergi? makanya lo nggak pernah bilang buat kita sukses sama-sama.”
Zefa segera memeluk Hasan yang berada di sampingnya. “Abang jangan gini dong!” Hasan terkekeh melihat Zefa yang sudah menangis. “Lihat nih bang, adek kesayangan lo udah gede banget masa. tinggi banget dia kek tiang, calon dokter juga nih, bangga nggak lo?” ujar Hasan lagi dengan sedikit bergetar sambil menepuk-nepuk bahu Zefa yang masih memeluknya.
“Bang Renja, tau nggak kalau bang Marvel udah jadi musisi terkenal loh yang lagunya udah diputar dimana-mana. keren banget tau dia bang sekarang,” curhat Candra kemudian, sambil merapikan bunga-bunga yang tadi di tabur oleh Jevana.
“Dan Ja lo juga harus tau kalau Candra jadi anak arsi sekarang,” timpal Marvel yang tangannya sudah menepuk-nepuk bahu Candra. “keren.” Candra hanya tertawa lalu mengangguk-angguk.
“Nanda lo nggak cerita apa gitu?” tanya Hasan menoleh ke arah Nanda yang diam sambil membersihkan nisan Renjana. “Nggak, udah sering gue,” jawabnya.
“Curang banget.” Nanda tertawa lalu menatap Hasan yang wajahnya terlihat kesal. “Makanya jangan sibuk-sibuk,” sindir Nanda.
“Emang sibukkk,” jawab Hasan tidak mau kalah.
“Terus aja lo pada, masa ketemu bang Renja lo malah berantem. udah gede juga,” sindir Jevana yang sedari tadi menyimak. lantas semuanya tertawa menanggapi keributan kecil itu, sembari menikmati matahari yang perlahan pergi karena tugasnya hari ini sudah selesai.
Perasaan hangat seketika kembali menjalar, seakan kenangan lama itu kembali ke permukaan. seperti kembali menemukan rumah yang pernah hilang karena pemiliknya memilih pergi sebentar untuk menggapai mimpi masing-masing. dan sekarang pemiliknya sudah kembali. walau tak sepenuhnya utuh, tapi rumah yang mereka bangun akan selamanya ada. tidak akan hancur ataupun hilang lagi. karena sedari awal pondasi yang digunakan begitu kuat, kokoh dan tidak akan pernah hancur karena diciptakan oleh ketulusan.
Pondasi itu namanya, kasih sayang.
Mereka terlalu asik bercengkrama hingga tidak sadar, bahwa sosok yang sedang mereka rindukan, kini tengah menatap mereka dengan senyum andalannya. Arshaka Renjana hari ini juga hadir, menjadi saksi bisu perbincangan hangat kakak dan adik-adiknya.