Hancur berkeping
Hanya suara derap langkah yang menemani jalan mereka menuju ruang rawat Marvel berada. Rasa duka atas perginya Renjana belum juga sirna dari benak mereka semua. Rasa sakitnya masih terasa begitu jelas.
Namun mereka harus berpura-pura biasa saja, agar Marvel tidak curiga dan membuat keadaannya malah memburuk. Tak terasa mereka sudah berada di depan ruang rawat Marvel. suara tawa Marvel yang tengah berbincang dengan Tama ayahnya terdengar sampai luar membuat mereka sontak tersenyum mendengarnya.
“Jangan sampai keliatan sedih awas aja,” ujar Hasan sebelum membuka pintu kamar Marvel.
“Woi bang!” panggil Jevana kencang saat baru saja menginjakkan kaki di kamar Marvel yang pemiliknya kini tengah membaca buku. ya buku. si ambis itu tidak pernah mau melewatkan satu harinya tanpa sebuah buku untuk ia baca. katanya, rugi kalau lo sehari nggak dapat ilmu “Buset dah, lo lagi sakit masih aja demen baca buku? nggak pusing apa ya. gua mah–”
“Itu lo San, ini bang Marvel. yang nggak pernah ada kata pusing kalo baca buku. gue juga heran.” timpal Jevana cepat memotong ucapan Hasan. Hasan hanya tertawa seraya mengangguk.
“Berisik lo pada,” sewot Marvel yang langsung menutup bukunya dan meletakkannya pada lemari kecil di samping tempat tidur. “ganggu.”
“Tuhkan dibilang ganggu. ya udah lah pulang aja,” gerutu Candra pura-pura marah. membuat Marvel gelagapan. “Ehh, nggak. itu bercanda doang elah,” jawab Marvel cepat. ia tidak mau terjadi salah paham karena bercandanya itu.
Nanda dan Zefa, dua orang itu hanya tertawa melihat interaksi keempat pemuda di hadapannya. sedangkan Tama, ia tadi pamit keluar memberi waktu untuk teman-teman Marvel berbincang secara puas pada anaknya itu.
Mereka semua berusaha mencari ribuan topik untuk dibicarakan pada Marvel. agar pemuda itu tidak membahas tentang Renjana. namun mereka salah, Marvel dan Renjana itu bagai perangko yang sangat lengket. jika yang satu tidak ada makan akan begitu berasa.
“Jadi, Renjana udah sadar belum?” Pertanyaan Marvel barusan membuat semua yang sedang tertawa sontak berhenti seketika. “udah apa belum?” tanya Marvel yang mulai merasa ada yang janggal dari mereka.
“Udah bang,” jawab Jevana membuat Marvel tersenyum lega. dapat mereka lihat jelas bahwa Marvel tengah berucap syukur walau tidak bersuara sekalipun. “gue mau lihat dia dong!”
Hasan menetralkan gugupnya cepat, agar Marvel tidak curiga. “Udah pulang bang, sekarang dia lagi istirahat aja makanya nggak ikut.” Marvel menghela nafasnya kecewa, lalu mengangguk-angguk paham. “oke.”
Dalam hati mereka berucap banyak syukur karena Marvel tidak mengorek lebih jauh tentang Renjana. melihat suasana menjadi aneh Marvel mengamati setiap gerak gerik adik-adiknya secara diam-diam. Mereka memang baru sebentar bersama, namun cukup membuat Marvel mengenali kebiasaan mereka kalau tengah berbohong.
“Kalian nyembunyiin sesuatu dari gue ya?” tanya Marvel to the point. merasa tak mendapat jawaban Marvel kembali bersuara. “kok diem?”
“Woi? gue nanya loh ini?”
“Sumpah anjir lo pada kenapa?”
“Ini kenapa? Renjana nggak apa-apa kan? dia udah sehat kan?”
“Tadi kalian bilang dia juga udah pulang, berarti udah nggak apa-apa. terus yang kalian sembunyiin apa?” tanya Marvel gemas karena adik-adiknya hanya diam.
“Wah gila, lo semua pada mendadak bisu bareng-bareng ya?” tanya Marvel lagi dengan nada frustasi karena tak kunjung mendapat jawaban. sedangkan yang lain lidah mereka mendadak kelu, jantung mereka berdegup lebih cepat. terlalu susah untuk mengeluarkan suara.
“Kalo lo pada nggak bisa jawab, gue bakal telepon Renja,” ancam Marvel yang setelahnya mengeluarkan ponselnya yang disimpan Tama di dalam lemari kecil di samping tempat tidurnya.
“Percuma bang,” jawab Hasan cepat. membuat tatapan tak percaya keluar dari wajah ketiga pemuda lainnya yang sedari tadi diam.
“Percuma kenapa? dia kan udah pulang, pasti lagi megang ponsel sekarang.”
“Percuma nggak akan diangkat.” Marvel menaikan satu alisnya. “Ponselnya lowbat? rusak?”
“Ponselnya nggak apa-apa, tapi bang Renjanya yang nggak bisa.”
“Kenapa?”
“Ya nggak bisa?”
“Ya nggak bisa kenapa anjir? dia udah sehat, ponselnya baik-baik aja, terus alasan dia nggak bisa jawab telepon gue apa? alasan lo nggak masuk logika.”
“Dia udah nggak sama kita bang.”
“Ya emang nggak sama kita, dia ada di asrama, kita ada di rumah sakit.”
“Gua tahu lo pinter. lo tahu maksud gua apa, jangan pura-pura bego,” jawab Hasan. “gua tahu lo mencoba menyangkal pikiran buruk yang sangat lo hindari. tapi itu kenyataannya.”
Marvel tertawa kecil. “Sok tahu lo, sejak kapan lo bisa baca pikiran gue? dukun lo?”
“Raut wajah lo nggak pernah bisa bohong,” jawab Hasan lagi tak mau kalah. “bang Renja udah nggak ada, dia udah pulang. bukan ke asrama ataupun rumahnya. dia udah pulang ke tempat yang jauh yang nggak akan bisa kita jangkau,” jelas Hasan.
“Gua rasa ini udah sangat jelas buat lo. nggak usah nolak kenyataan. karena nyatanya lo bukan Tuhan yang bisa merubah takdir sesuai yang lo harapkan,” lanjut Hasan lagi.
“Ini bukan april mop, lo nggak usah nge-prank kayak ini,” jawab Marvel masih mencoba menyangkal.
“Muka gua keliatan bercanda ya bang?” Kalau boleh jujur wajah Hasan sekarang terlihat menyeramkan. ia benar-benar lugas dalam setiap ucapannya, terasa sangat yakin dalam pendengaran Marvel.
Marvel meremas rambutnya kencang. lalu kemudian dia tertawa menatap satu persatu mata di hadapannya. “RENJANA MANA?! JANGAN BERCANDA DONG ANJING!” teriak Marvel lalu membuka ponselnya mencari nomor Renjana lalu menghubunginya. bibirnya bergetar menunggu seseorang yang sedang ia hubungi mengangkat panggilan teleponnya, menyangkal semua perkataan lima orang di depannya. “angkat dong anjing.”
“Sejak kapan orang yang udah meninggal bisa angkat telepon bang? baru tahu gua.” Marvel sengaja menulikan pendengarannya berusaha mengabaikan kata demi kata sarkas yang keluar dari mulut Hasan. sudah lebih dari sepuluh kali ia menghubungi Renjana namun tak ada satupun tanda-tanda akan diangkat.
“Udah? puas? udah puas nyari pembenaran untuk diri sendiri? udah dapat jawabannya belum?” tanya Hasan lagi kali ini dengan bibir yang ikut bergetar. pertahanan yang ia jaga sedari tadi dengan mengeluarkan kata-kata yang terdengar kasar kepada Marvel seakan sia-sia.
Sedangkan Marvel dia menjerit, melemparkan semua bantal yang ada pada kasurnya ke sembarang arah, memaki dirinya sendiri yang tidak bisa bertemu Renjana bahkan di saat terakhirnya. “Tolol Marvel tolol!”
“Gue mau ketemu Renja, gue mau minta maaf ke dia,” ujar Marvel menggebu-gebu, nafasnya naik turun tak beraturan. air matanya sudah berhasil membasahi seluruh wajah. kemudian ia berusaha mencabut infusan pada tangannya.
“Bang jangan gila!” teriak Jevana. sedangkan Nanda sudah lebih dahulu menahan tangan Marvel untuk bertindak lebih jauh. “Sabar bang, gue tahu lo terpukul tapi sekarang kesehatan lo nomor satu. jangan gegabah.”
“LO BISA BILANG KAYAK GITU KARENA LO MASIH ADA KESEMPATAN KETEMU DIA!” teriak Marvel histeris menatap nyalang ke arah Nanda. “gue….” ujar Marvel getir seraya menunjuk dirinya sendiri. “buat liat dia dari jauh aja nggak sempet….” lanjutnya lagi dengan lirih.
“Buat ucapin selamat tinggal aja gue nggak sempet…,” ucap Marvel lagi lalu setelahnya penglihatannya memudar, kepalanya seketika merasa pening. “Bang?” panggil Jevana pelan.
“Bang Marvel.” diguncangnya tubuh Marvel pelan. “Zefa cepet panggil dokter! bang Marvel pingsan!” titah Nanda cepat pada Zefa. sedangkan Hasan, pemuda itu kini sudah terduduk lemah seraya bersandar pada dinding kamar Marvel. menatap kosong ke arah orang-orang yang kini tengah panik mengecek keadaan Marvel sekarang.
“Marvel nggak apa-apa, dia cuma shock aja,” ujar dokter yang baru saja mengecek keadaan Marvel. terdengar helaan nafas lega dari semua insan di sana. lalu setelah dokter keluar, Tama menghampiri Hasan yang masih setia bungkam.
“Sabar ya nak? Hasan anak yang kuat, pasti bisa laluin ini semua,” ucap Tama seraya mengusap lembut bahu Hasan.