Terimakasih sudah mau mengerti

Langkah Hasan berjalan menuju lobby tempat Faris, ayahnya berada. jantungnya berdetak cepat karena ini sudah hampir satu bulan sejak ia tidak bertemu dengan ayahnya itu. langkahnya berhenti tepat di belakang sofa yang sedang diduduki seorang pria berkaos hitam yang tengah menatap lurus ke depan.

“Ayah?” panggilnya pelan, takut salah orang. Faris menoleh, mempertemukan netranya dengan netra si bungsu yang sudah lama tidak ia lihat lagi keadaannya. Hasan tersenyum kikuk ia benar-benar mati gaya berhadapan dengan ayahnya sekarang.

“Sini duduk,” titah Faris sedikit menggeser tubuhnya untuk memberikan ruang kosong untuk Hasan. Hasan mengangguk lalu mendudukan tubuhnya tepat di samping Faris.

Terdengar suara batuk yang sengaja dikeluarkan Faris untuk memecah keheningan diantara mereka. “Ayah boleh peluk kamu nggak?” ucapan Faris barusan sukses membuat Hasan membulatkan matanya, pasalnya baru kali ini ia dengar permintaan seperti itu dari sang ayah. dengan patah-patah Hasan mengangguk.

Tak lama kemudian dapat ia rasakan tubuh besar sang ayah sudah merengkuh tubuhnya, memberikan rasa hangat. tanpa sengaja Hasan tersenyum. menerima perlakuan lembut dari sang ayah adalah impiannya sejak dulu.

“Maafin ayah ya San, maaf ayah udah terlalu keras sama kamu.” Lidahnya terasa kelu, ia ingin menjawab namun takut nada getir yang akan keluar nantinya. ia tidak mau terlihat cengeng di depan sang ayah sekarang. akhirnya hanya anggukan yang dapat ia berikan.

“Iya, nggak apa-apa,” ucap Hasan setelah berhasil menormalkan nada suaranya sendiri. Faris tersenyum, walau ia tahu Hasan tidak bisa melihatnya sekarang.

Sekarang, mereka kembali terjebak dalam keterdiaman. minimnya konversasi yang mereka lakukan di rumah membuat mereka kini kebingungan mencari topik yang bisa dibahas. mereka terlalu jauh untuk sepasang ayah dan anak. dan Faris baru menyadari itu sekarang.

“San mau makan eskrim nggak? panas banget nih,” ujar Faris tiba-tiba. Hasan menggeleng. “Nggak, tadi habis makan eskrim sama adek-adek, takut batuk.” Faris membungkam mulutnya lalu mengangguk-angguk paham. kembali mencari topik yang bisa membuat anaknya bersuara.

“Kalau makan seafood mau nggak? sekalian makan siang.”

“Hasan alergi makanan laut yah,” ucapan Hasan sukses membuat Faris terdiam. ia benar-benar tidak tahu kalau anaknya memiliki alergi terhadap makanan laut. lalu ia menunduk. “Maaf ayah nggak tahu.”

Hasan paham. ia mengerti. tapi entah kenapa masih terasa begitu perih mengetahui bahwa hal penting buat dirinya itu tidak diketahui oleh Faris. seakan mereka adalah teman baru yang belum saling mengenal. “Maaf, ayah nggak tahu makanan yang Hasan suka atau Hasan lagi pengen makan apa.”

Hasan menautkan kedua jarinya, mencoba memahami kondisi sang ayah. “Hasan sebenernya udah makan siang sih, tapi kalau ayah nanya makanan kesukaan Hasan, Hasan paling suka seblak, hehe,” ujar Hasan diakhir cengiran di ujung kalimatnya.

Faris tersenyum. “Kamu mau seblak?” Hasan mengangguk. “Mau tapi yang pedes bangettt!”

“Yaudah ayo, kita keluar.” Hasan melongo sebentar lalu setelahnya ia mengangguk semangat. “Ayo!”

Tapi sebelum pergi ia terlebih dahulu mengabari adik-adiknya kalau ia akan pergi keluar sebentar sebelum ia menyusul ayahnya ke parkiran mobil.

Sekarang ia sudah di sebuah kedai seblak kaki lima tak jauh dari asrama bersama ayahnya. memesan dua buah mangkok seblak serta dua gelas es jeruk. tak lama pesanan mereka datang. mereka makan dalam diam tak berniat menjalin sebuah percakapan bersama, walau sebenarnya dalam benak masing-masing banyak sekali kata yang ingin dilontarkan satu sama lain.

Kini mereka sudah kembali ke asrama namun masih diam di dalam mobil. menatap lalu lalang siswa masuk dan keluar asrama untuk membeli jajanan di luar. “Ayah kesini cuma mau ketemu Hasan aja?” ucap Hasan memecah keheningan.

“Iya.”

“Nggak ada maksud lain kan?”

“Di mata kamu ayah kayak gitu ya?” Hasan diam. tak berniat membalas. “maaf ya San, ayah nggak sadar udah berbuat kayak gitu ke kamu.”

“Maaf selalu jadiin kamu sebagai orang yang ayah yakin bisa menggapai mimpi ayah yang belum terwujud dulu. sampai ayah lupa kalau kamu itu Hasan. bukan bayang-bayang ayah atau kakakmu.” “Kalau kamu juga punya hidupmu sendiri yang bebas kamu pilih sendiri jalannya mau kemana. maaf terlalu ngekang kamu karena ambisi yang ayah punya. ayah sadar, kalau ayah salah. ayah kesini mau minta maaf dan mau memperbaiki hubungan ayah sama kamu.”

“Kita lebih sering berantem dan beradu mulut sampai-sampai untuk cuma sekedar nanya kabar aja kita nggak pernah lakuin ya?” Faris terkekeh miris namun genggamannya pada setir mobil semakin mengeras.

Perkataan Faris barusan sukses membuat bulir air bening turun melewati pipinya. namun dengan cepat ia segera menghapusnya takut kalau Faris melihatnya menangis. “Hasan maafin. makasih udah mau ngerti Hasan.”

“Kalau ayah beneran udah berubah, Hasan minta tolong terima apapun hasil yang akan Hasan dapetin dari olimpiade ini,” ujar Hasan. sebenarnya ia juga sangat khawatir akan keputusan panitia mengenai lanjut atau tidaknya timnya untuk mengikuti olimpiade. ia juga sama seperti Marvel, Nanda serta Jevana yang sedari tadi pagi terlihat begitu khawatir. namun dengan sekeras yang ia bisa, ia harus menutupi rasa khawatirnya itu dengan mengajak Zefa bermain game dengan Candra sebagai tim hore di pertandingan mereka. mencoba mengalihkan pikiran-pikiran negatifnya ke sebuah game.

Faris termenung sebentar lalu menatap Hasan yang juga tengah menatapnya, lalu diusap surai hitam milik Hasan perlahan. “Iya, yang penting anak ayah udah berjuang. apapun hasilnya itu pasti yang terbaik,” jelasnya seraya tersenyum, menampilkan sederet gigi putihnya.

Melihat Faris yang terlihat begitu tulus, Hasan ikut tersenyum melihatnya lalu dengan segera menghamburkan sebuah pelukan untuk ayahnya itu. “Ayah, makasih banyak. Hasan hari ini seneng sekaligus lega. kayak rasanya beban di pundak Hasan itu tiba-tiba hilang, rasanya jadi ringan banget.”

“Alhamdulillah, ayah ikut seneng. sekarang yang penting buat ayah. anak ayah bahagia dan nggak ada lagi beban yang mengikuti di setiap langkahnya”

Hasan mengangguk. “Makasih sekali lagi ayah.”