Datang dan Kembali

Kini suasana cukup tenang, hanya terdengar suara langkah kaki perawat dari luar. sedangkan Renjana dengan tenang mengunyah sepotong apel yang sudah dipotong oleh Naura di sampingnya.

“Udah ibu, Renja udah kenyang,” ujar Renjana kala Naura hendak memberinya sepotong lagi. Naura tersenyum lalu mengangguk. “Yaudah, ini minum dulu.”

“Makasih ibu…” Melihat Naura menunduk dengan bahu yang sedikit naik turun membuat Renjana tahu bahwa ibunya kini tengah menahan tangis yang akan keluar. semalam Naura sudah menceritakan semuanya alasan yang membuatnya membenci Renjana selama ini.

Malam itu juga Renjana dengar nada penyesalan dari setiap ucapan Naura yang menganggap dirinya anak dari selingkuhan Darma. tidak bohong bahwa hatinya juga terluka mendengar penuturan kejujuran dari sang ibu. namun ia mencoba mengerti, bahwa menjadi Naura saat itu juga tidaklah mudah.

Dengan senyum tipis Renjana hadiahkan untuk sang ibu, meyakinkan bahwa ia tidak apa-apa dan itu hanya masa lalu yang cukup disimpan dan tidak perlu diungkit lagi. yang penting sekarang ibunya sudah ada bersama dengannya, itu lebih dari sekedar cukup untuk Renjana.

“Ibu…” panggil Renjana. Naura menoleh menatap putranya yang keadaannya kini jauh lebih baik. “Kenapa sayang?”

“Ibu… tolong beri Nanda kasih sayang yang sama kayak Renja ya?” permintaan Renjana barusan sukses membuat Naura bungkam. jujur dalam lubuk hatinya, setiap ia melihat Nanda bayangan kejadian tujuh belas tahun yang lalu selalu kembali terbayang dalam pikirannya. membuat perih pada hatinya kembali terasa. Naura menarik nafasnya panjang.

“Renjana tahu berat untuk ibu, tapi dicoba ya bu? Nanda hadir itu sudah takdir dari Tuhan, dia bukan kesalahan yang harus kita benci,” lanjut Renjana. “Renjana tahu ibu orang baik, dan Renjana yakin ibu pasti bisa terima Nanda nanti.”

Naura mengangguk dalam hatinya ia juga menyetujui apa yang barusan putranya katakan. Nanda lahir karena takdir. “Iya sayang, ibu coba ya?” Renjana tersenyum lalu segera memeluk tubuh Naura erat.

Tidak lama, suara ketukan pintu terdengar membuat Renjana melepas pelukan singkat itu. melihat siapa yang datang pagi-pagi. Suara riuh menyapa pendengarannya setelah pintu terbuka, menampilkan sosok yang sudah mengisi hari-harinya sebulan terakhir ini. sosok yang membuat dia sedikit melupakan masalah-masalah serta sakit yang ia rasakan di rumah.

“SELAMAT ULANG TAHUN ABANG!!” Renjana membuka mulutnya lebar, tatapannya terkejut tidak bisa ia sembunyikan lagi. lantas dengan segera ia mengecek ponselnya melihat tanggal disana lalu tertawa. “Ya Allah, aku lupa hari ini ulang tahun,” ujarnya.

It’s okay abangggg, sini make a wish dulu!” ujar Candra yang dengan gembira membawa kue yang mereka pesan sebelum ke sini. tentunya sudah dihiasi dengan sebuah lilin angka delapan belas di atasnya. Renjana hanya tertawa melihat hanya ada tulisan ‘HBD’ pada kue putih itu. namun hatinya begitu senang. baru kali ini ia merasakan ulang tahunnya dirayakan.

Lilin sudah mati. tepat setelahnya Darma masuk ke dalam ruangan membawa sebuah kue juga ditangannya. “Waduh, bapak telat nih ceritanya?” lantas semuanya tertawa menanggapi ucapan Darma.

“Nggak bapak, nggak telat sama sekali,” jawab Renjana yang kini wajahnya begitu bahagia. senyumnya tidak pernah luntur dari wajahnya.

“Maaf Renja, ibu lupa ulang tahun kamu,” lirih Naura pelan. Renjana menggenggam tangan Naura. “Nggak apa-apa ibu, ada ibu di ulang tahun Renja kali ini itu adalah hadiah paling baik yang Tuhan kasih ke Renja,” jawab Renjana jujur. lantas Naura tersenyum lalu mengangguk. “Makasih ya sayang.”

Acara ulang tahun Renjana berjalan lancar. kue yang dibeli Darma serta Hasan dan kawan-kawan kini sudah habis tak bersisa. sekarang mereka sedang duduk sambil bercengkrama ria, saling berbagi tawa yang sudah lama tidak mereka lakukan. Sedangkan Naura, wanita itu kini tengah merapikan perlengkapan Renjana untuk pulang nanti sore.

“Makasih ya semua, aku kaget banget kalian tahu ulang tahun aku.”

“Nggak sengaja abang, kemarin aku nggak sengaja liat di data abang kalau hari ini abang ulang tahun.” Renjana hanya tersenyum lalu mengangguk-anggukkan kepalanya. namun ia baru merasakan ada yang kurang hari ini.

“Loh iya, bang Marvel mana?” sontak pertanyaan Renjana barusan membuat suasana ceria itu berubah menjadi sunyi yang mencekam. membuat Renjana menautkan kedua alisnya bingung. “kemana?” tanyanya lagi.

Terjadi diam cukup lama sampai Darma akhirnya bersuara. “Dia ada urusan sama papanya Renja.” Sontak semuanya kembali bernafas lega dan mengucapkan banyak rasa terimakasih kepada Darma yang telah menolong mereka hari ini dalam hati. lalu semuanya mengangguk.

“Masalah apa sih, lama banget perasaan?” Hasan hanya mengedikkan bahu tanda tidak tahu. Renjana hanya bisa membuang nafasnya kasar. ia sudah begitu rindu ingin bertemu dengan abang satunya itu. sejak ia sadar, ia tidak lagi melihat batang hidung Marvel dalam netranya. “Ponselnya mati juga ya?” Lalu Jevana mengangguk. “Gue juga susah hubungin dia bang.”

Setelah yakin Renjana telah percaya akan rekayasa yang mereka buat lantas mereka kembali berbicara banyak sekali setelahnya. Renjana hanya bagian menyimak saja, ia hanya duduk bersandar seraya menatap satu-satu insan yang menjadi alasannya untuk terus berucap syukur kepada Tuhan karena sudah mempertemukannya dengan mereka.

Pemandangan yang kini ia lihat akan ia simpan dalam memorinya, ia ingin membawa semua kenangan ini bersamanya selamanya. Namun dalam lamunannya dadanya kembali terasa nyeri, dadanya terasa kembali sesak. cukup lama ia berusaha mengatur detak jantungnya dalam diam tidak berniat ingin meminta bantuan.

Namun seakan sudah diatur oleh sang pencipta, Hasan bangkit dari duduknya dengan niat ingin mengambil segelas air yang terletak tepat di samping ranjang Renjana. sontak terlonjak kaget melihat Renjana kini tengah kesusahan bernafas.

Teriakan panik Hasan membuat semua perhatian yang berada dalam ruangan tertuju pada Renjana. dengan cepat Darma berlari mendekat ke arah Renjana. berniat ingin menekan tombol untuk memanggil dokter. namun dengan cepat Renjana menahan pergerakan Darma.

“N..nggak u..sah pak,” lirih Renjana tertatih karena pasokan oksigen yang semakin susah memasuki tubuhnya. Naura hanya bisa menutup mulutnya menahan tangis yang hendak ingin keluar. Darma diam pada tempatnya namun dadanya bergemuruh hebat. rasa takutnya menjalar ke seluruh tubuhnya sekarang.

Darma menggenggam tangan Renjana kuat-kuat seraya menahan tangis yang juga akan keluar. ia tidak suka situasi ini. situasi yang ia takutkan sedari kemarin. banyak sekali rapal permohonan kepada sang pemegang kuasa atas dunia dan seisinya bahwa, jangan sekarang saya masih butuh dia.

Renjana membalas genggaman itu seraya menggenggam juga tangan Naura di samping kirinya. memberi senyum sehangat yang bisa agar ibunya tidak khawatir, agar ibunya bisa tenang. Nafasnya sedikit kembali teratur namun dalam tempo lebih lambat. “Ibu…Renja baik-baik aja, ibu jangan nangis.” Namun ucapannya itu malah membuat tangis Naura semakin nyata.

Tatapan Renjana kini menatap kelima adiknya yang juga tengah menahan tangis. Hasan yang menunduk dengan bahu bergetar, Candra yang secara terang-terangkan menumpahkan air matanya di depan Renjana, Zefa yang setia menutup mukanya, Jevana yang membuang muka ke tempat lain asal tidak terjalin kontak mata dengan Renjana, dan Nanda yang hanya diam dengan tatapan lurus ke Renjana.

“Kalian semua jangan nangis, abang nggak apa-apa.” Namun serempak mereka menggeleng. membantah penuturan Renjana.

“Makasih ya udah hadir dalam hidup abang.” Ucapan Renjana lagi membuat tangis yang sedari tadi mereka tahan pecah menjadi sebuah vokal yang menyayat hati.

“Jangan lupa makan ya?” Renjana terkekeh mengingat bahwa ia sudah lama tidak mengucapkan kata itu lagi. “jaga kesehatan, karena itu yang nomor satu.”

Mereka semua mendekat ke arah Renjana, memeluk tubuh ringkih itu perlahan. menumpahkan segala rasa yang kini sudah begitu campur aduk. sedangkan Renjana hanya bisa tersenyum, sembari mengelus surai mereka satu persatu secara perlahan.

“Abang sayang banget sama kalian.” Pelukan terlepas kemudian Renjana menarik nafasnya perlahan. “Salam buat bang Marvel, abang kangen banget sama dia. tapi abang rasa kita udah nggak bisa ketemu lagi nanti.”

Tatapan Renjana beralih pada Darma yang berada di belakang. “Bapak… terima kasih sudah beri Renjana kasih sayang untuk pertama kalinya.” Renjana tersenyum. “sekarang Renjana mau jemput bahagia Renja, boleh kan pak?” lirih Renjana suaranya semakin pelan

Darma menutup mulutnya, memutus kontak mata dengan Renjana. kakinya melemas namun ia tidak punya pilihan lain untuk bertahan. dengan berat hati ia anggukkan kepalanya mengabaikan gelengan kuat yang diberikan semua insan di sana. yang ia tahu sekarang ia harus memberi anaknya bahagia. bahagia yang selama ini ia cari.

Renjananya sudah cukup banyak menanggung duka, menanggung luka. baik fisik maupun batin. mungkin ini saatnya Renjananya istirahat dari semua hal jahat yang selama ini ia rasakan. Renjananya sudah lelah.

“Boleh sayang, Renjana boleh ketemu bahagia.” Renjana tersenyum di sela nafasnya yang semakin tersendat.

“Ba...pak tun..tun Ren…ja ya?” ucap Renjana patah-patah. Tangis yang sedari ditahan semuanya keluar tanpa aba-aba. seakan sudah saatnya ia meluncur deras tanpa ada yang berhak menghentikan. Darma memaksakan senyumnya, ia mau mengantar Renjana dengan senyuman walau itu penuh paksa.

Dengan tergagap Darma paksakan untuk bersuara, tangannya mengusap surai lembut Renjana dengan senyum getirnya. “Iya sayang, bapak tuntun ya?” Renjana tersenyum lalu mengangguk.

Namun sebelum itu Renjana sempatkan untuk kembali melihat satu persatu wajah di hadapannya ini. sembari berkata lewat tatapan bahwa ia bahagia. kalian jangan nangis, abang pergi karena mau ketemu bahagia

Darma menari nafasnya dalam. menghilangkan getir pada suaranya. Ia usap surai itu. “Laa ilaa…”

“Laa ilaa…”

Suara Darma tercekat, hatinya hancur berkeping-keping.

“ha illallah”

“ha…illallah”

Darma menggigit bibirnya kencang, perlahan mata Renjana tertutup bersamaan pula dunianya hancur. anaknya pergi ke pangkuan sang pencipta lebih dahulu. tidak pernah terpikirkan bahwa ia harus menuntun Renjana seperti tadi. seakan ini semua hanya mimpi buruk dan ia ingin segera bangun dari mimpi buruk itu.

Erangan penuh pedih menggema di seluruh ruangan. Naura sudah terduduk lemas di lantai dingin dengan tangan bertopang pada sebuah lemari kecil di sampingnya. Darma, ia hanya bisa diam dengan tatapan kosongnya dengan tangan yang masih setiap mengusap surai Renjana. sedangkan kelima pemuda yang juga kini hancur hanya bisa menangis.

“BANG RENJA BANGUN!” teriak Hasan histeris. suara seraknya yang penuh dengan duka itu menggema, mengguncang-guncang tubuh Renjana kencang seakan jika ia melakukan itu Renjana akan terbangun.

“BANGUN BANG, PERJUANGAN KITA BELUM SELESAI KAN?!”

“BANGUN!”

“BANG RENJA BANGUN!” teriaknya sekali lagi sebelum ia ikut tumbang, terjatuh bersimpuh di samping ranjang Renjana.

Sedangkan Nanda, ia bersimpuh di samping tubuh kaku Renjana, tangisnya tidak bersuara. namun sesak di dadanya begitu nyata terasa. bang gue janji akan jaga bapak sama ibu sesuai permintaan lo, tapi lo harus bahagia disana ya? batin Nanda.

Sedangkan Zefa dan Candra memeluk erat Jevana yang juga tengah hancur. mereka bertiga saling menguatkan satu sama lain. menangis bersama dalam pelukan yang begitu menyedihkan.

“Bang janji lo buat kita pegang piala sama-sama belum terwujud…” ujar Hasan lagi yang terlihat lebih tenang namun ia terlihat begitu hampa. tatapannya sama seperti Darma, kosong.

Renjana memang bilang ia akan pulang. namun bukan pulang seperti yang mereka harapkan. tapi pulang seperti yang Renjana harapkan. Renjananya sudah ketemu bahagia yang ia cari, tidak ada sakit, tidak ada duka lagi yang akan menghampirinya. namun yang Renjana tidak tahu, ia meninggalkan duka serta sakit untuk orang yang menyayanginya.

Renjana si anak baik yang selalu menjadi seseorang pertama yang dicari adik-adiknya kala mereka butuh bantuan, orang yang selalu menjadi sosok ibu bagi mereka saat di asrama, menjadi pendukung mereka dari belakang itu kini sudah tidak ada lagi di dunia.

Renjana, pergi meninggalkan dunia di hari yang sama saat pertama kali ia datang ke dunia.

Dan disaat yang sama, di jam dan detik yang sama saat Renjana pergi untuk selama-lamanya seorang pemuda lain yang sedari kemarin diharapkan hadirnya kembali. kini sudah kembali sepenuhnya. kembali menatap dunia yang sempat hampir ia tinggalkan.

“Ananda Marvel sudah sadar pak.”