D-DAY

Hari yang ditunggu semua peserta olimpiade matematika sedari dua bulan yang lalu akhirnya tiba. semua peserta sudah memasuki sebuah aula besar yang sudah berisi meja-meja yang akan mereka tempati nantinya.

“Bang… gua deg-degan banget sumpah,” ujar Hasan yang kini mengeratkan genggamannya pada lengan Marvel yang kini berada di sampingnya. “Tenang aja San, jangan dibawa stress.”

“Padahal tadi di asrama aku pede banget, kenapa sekarang ciut banget…,” lirih Candra yang sedari tadi mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru aula. melihat satu persatu manusia yang akan menjadi lawannya hari ini. “Hus, jangan ngomong gitu. harus pede dong!” bisik Nanda tepat di telinga Candra seraya membuat gerakan tangan mengepal lalu mengangkatnya ke atas yang sukses membuat Candra terkekeh kecil lalu mengangguk.

“Perhatian untuk seluruh peserta, harap segera duduk dengan posisi yang sudah disediakan oleh panitia. diharapkan tenang saat ketua pelaksana memberikan kata sambutan sebagai pembukaan acara pagi hari ini.” Ucapan pembawa acara barusan seketika menginterupsi seluruh peserta sehingga suara riuh yang tadi tercipta hilang seketika.

Tak lama ketua pelaksana memberikan salam pembuka serta kata-kata semangat untuk para peserta. tak perlu waktu lama juri pada olimpiade kali ini sudah memasuki aula setelah kata penyambutan selesai diberikan.

Suasana berubah menjadi lebih mencekam dari sebelumnya. berulang kali Zefa menarik nafasnya seakan oksigen di ruangan ini sangat terbatas. “Jangan gugup Zef,” ucap Jevana. “kita hadapi bareng-bareng.”

Peraturan kali ini akan ada dua putaran untuk penyeleksian peserta yang akan lolos ke tahap final yang dimana di kedua putaran tersebut diberikan soal tertulis dengan jumlah yang berbeda di setiap putaran. “Untuk putaran pertama, akan dikeluarkan lima belas kelompok. dan untuk putaran kedua, akan dikeluarkan empat belas kelompok dengan nilai terendah di setiap putarannya. lima kelompok yang bertahan akan masuk ke babak final.” terang salah satu juri perempuan yang duduk di tengah. “paham semua?”

Sontak seluruh peserta menjawab dengan kompak dan semangat yang membara. piala besar yang sekarang berada di samping juri sangat membangkitkan jiwa kompetitif para peserta.

Putaran pertama dimulai dengan suara dentuman gong besar yang entah berada dimana namun suaranya sangat terdengar jelas. para panitia dengan cepat membagikan soal-soal yang akan menjadi penentu utama siapa yang akan bertahan untuk putaran selanjutnya.

“Ingat ya jangan gegabah, jangan panik, nanti semua yang udah kalian pelajari akan buyar. semua kerjain yang mudah dulu,” titah Marvel saat melihat wajah tegang kelima temannya itu. “Iya abang siap!” jawab Candra dengan tangan diletakan di ujung alis tanda hormat kepada Marvel yang dibalas acungan ibu jari.

Suara kertas yang dibolak balik menjadi satu-satunya suara yang menemani kegiatan mereka sekarang. seratus soal untuk tujuh orang memang terlihat sedikit. namun soal yang menjebak adalah tantangan yang sesungguhnya. ditambah dengan waktu yang terus berjalan.

“Gila susah banget,” keluh Hasan saat kerta soal mereka baru saja diambil oleh panitia untuk dikoreksi. “Namanya juga lomba, kalo mau gampang mah lo kerjain aja soal anak sd kelas satu San,” jawab Jevana yang kini tengah memijat pelipisnya pelan.

“Aku deg-degan banget abang,” ucap Candra pada Nanda. “Jangan dipikirin, tenang aja ya? yang penting udah usaha.”

Lima belas menit berlalu dan hasil sudah berada ditangan juri. suasana yang tadi sudah lebih bersahabat kini kembali menegangkan. rapalan-rapalan doa peserta lain terdengar memenuhi indra pendengaran Hasan membuatnya semakin gugup.

Satu persatu perwakilan provinsi yang lolos disebutkan membuat nafas enam pria yang kini saling berpegangan tangan di bawah meja ikut tertahan menunggu nama provinsi mereka disebut. “Jakarta. Selamat kalian lolos ke babak berikutnya.”

Jangan tanya bagaimana lega dan hebohnya mereka mendengar kalau mereka lolos ke babak selanjutnya karena Candra dan Hasan langsung berdiri dan bertos ria tanpa tahu tempat dan keadaan yang akhirnya semua perhatian tertuju semua kepada mereka.

Ditambah hebohnya Biantara, ayah Jevana yang benar-benar membawa pasukan untuk menyemangati putra sulungnya itu.


Babak kedua dimulai dengan keadaan lebih sepi dari sebelumnya, karena hampir separuh kelompok sudah gugur. namun rasa tegang yang mereka hadapi tak pernah berkurang sedikit pun. malah semakin bertambah rasanya.

“Kakiku tiba-tiba lemes banget masa…” ujar Zefa dengan wajah polosnya, membuat Jevana yang dari tadi diam terkekeh melihatnya. “Woi ilah, santai aja, kalau gugup nanti kayak yang bang Marvel bilang, malah nggak fokus. ayo tarik nafasnya terus buang pelan-pelan.” Zefa mengangguk lalu menjalankan instruksi yang diarahkan Jevana barusan.

Suara gong kedua terdengar. panitia kembali membagikan soal berikutnya. dan yang membuat mereka terkejut jumlah soal yang diberikan bertambah hingga lima puluh soal. dengan cepat Marvel membagi soal demi soal untuk mereka kerjakan.

“Pelan-pelan, inget. konsentrasi. ini penentuan,” ujar Marvel tegas. mereka semua mengangguk paham menanggapinya.

Hasan merasakan kebas di tangannya. membuat jantungnya berdetak lebih cepat karena ia tidak bisa menyia-nyiakan waktu yang ada hanya untuk menghilangkan kebas yang ia rasakan sekarang. “Jangan panik Hasan,” ucap Marvel yang menyadari gerak-gerik Hasan tanpa melihat ke arah lelaki itu.

Soal kedua selesai setelah dua jam pengerjaan. kembali menunggu lima belas menit untuk pengumuman dengan wajah tegangnya masing-masing. sedang Hasan kini ia hanya bisa pasrah karena konsentrasinya tadi sempat buyar di beberapa soal.

Nanda menoleh mendengar Jevana menghela nafasnya sedikit kasar terlihat jelas sekali lelaki itu tengah gugup. dengan sedikit tertawa Nanda menepuk pelan bahu Jevana. “Lo dari tadi bilang ke Hasan sama Zefa jangan gugup, jangan takut. tapi lo sendiri juga sama aja. emang bener ya, paling gampang tuh ngasih tau orang tapi nggak pernah di praktekin ke diri sendiri.” Jevana hanya melengos mendengar penuturan panjang Nanda yang membuat lelaki itu semakin tertawa dibuatnya. “Tenang aja, pasti lolos.”

“Yakin banget.”

“Harus yakin. kalau bukan kita yang yakin siapa lagi?” Jevana akhirnya mengangguk, lalu ia kembali menegakkan tubuhnya untuk menatap lurus ke depan. menunggu pengumuman juri selanjutnya.

Sorak sorai dari Hasan, Marvel serta Candra menggema setelah mengetahui bahwa mereka lolos ke tahap final. suara bertambah riuh saat grup marching band yang diundang secara khusus oleh Biantara mulai memainkan alat musiknya.

Jevana, lelaki itu akhirnya bisa bernafas lega walau sebenarnya ia tengah malu setengah mati melihat tingkah gila ayahnya itu.


“Abang ini finalnya kayak gimana…” tanya Zefa pelan. kini hanya tertinggal lima kelompok yang berada di tengah aula. kelompok yang telah gugur sudah berpindah ke tempat penonton. menonton pertandingan terakhir. “Abang juga nggak tahu,” jawab Marvel.

Suara pembawa acara yang memberitahu bahwa babak final akan segera dimulai membuat semua peserta segera mempersiapkan diri.

pembawa acara berjalan ke arah tengah dengan gagah. “Oke akhirnya kita sudah berada di saat yang sangat ditunggu-tunggu. babak final!” Suara tepuk tangan riuh saling bersahutan memenuhi aula sekarang. membuat peserta yang kini akan kembali berjuang tersenyum melihatnya dan tidak sedikit ada yang ikut bertepuk tangan heboh.

“Oke, semua tenang dulu,” ucap pembawa acara kembali. “kali ini, peraturannya berbeda dengan dua babak sebelumnya. untuk babak final kita akan menggunakan sistem cerdas cermat, siapa cepat dia dapat. jadi siapa yang akan menjawab duluan adalah yang menekan bel terlebih dahulu. dan poin setiap soal adalah dua. kalian sudah mengerti dengan penjelasan saya barusan?” Anggukan para peserta berikan sebagai jawaban.

Suara gong kembali terdengar yang berarti babak penentuan akan segera dimulai. panitia sudah siap memberikan soal yang akan ditanyakan. terdapat tiga puluh soal esai. sebuah bel juga sudah diletakkan di masing-masing meja. siap menjadi alat tempur babak ini.

Soal pertama diberikan. sahutan demi sahutan bel menggema. detak jantung para peserta semakin berdetak cepat. soal demi soal benar-benar terjawab dengan cepat hanya hitungan detik bel berbunyi setelah panitia selesai membacakan soalnya. decakan kesal pun tak lepas dari gabungan suara ricuh tersebut.

Pertandingan berjalan menegangkan selisih yang terlampau kecil membuat mereka berlomba memperjauh jarak. saling memutar otak agar pertanyaan bisa terjawab lebih cepat dari kapasitas masing-masing. hingga tak terasa tersisa dua kelompok dengan nilai seri.

Hasan merenggut rambutnya sedikit keras. tangannya kembali kebas akibat kecepatannya hitungnya bertambah tiga kali lipat dari biasanya. “Gila, sengit banget!” ucapnya frustasi.

Jevana tertawa seraya mengetuk-ngetuk pulpennya ke meja, menatap sengit lawan terakhir mereka. tinggal satu langkah lagi mereka bisa mendapat gelar juara. satu langkah lagi mereka bisa membuat bangga keluarga. satu langkah lagi perjuangan mereka akan selesai dengan juara pertama.

“Semuanya harap didengar baik-baik. tekan bel setelah soal selesai ya.” semuanya mengangguk paham. tangan mereka sudah siap di atas kertas dengan pulpen yang juga sudah siap bergerak cepat.

“Diketahui a plus dua b sama dengan satu, b plus dua c sama dengan dua, dan b tidak sama dengan nol. jika a plus nb plus dua ribu delapan belas c sama dengan dua ribu sembilan belas, maka nilai n adalah.”

tet–

Itu suara bel dari kelompok lawan. Jevana yang baru saja ingin menekan memekik cukup kencang karena kalah cepat. mereka berenam begitu gugup mendengar jawaban dari kelompok lawan.

“Ya. berapa jawabannya?”

“Seribu sepuluh,” jawab salah satu anggota kelompok berkacamata itu dengan lantang yang sukses membuat senyum Jevana serta Marvel mengembang. “Oke, jawaban kita kunci.”

“Silahkan untuk para dewan juri apakah seribu sepuluh adalah jawaban yang tepat?” tanya pembawa acara dengan intonasi yang sangat mempermainkan perasaan mereka. takut, senang, semuanya campur aduk menjadi satu.

“Salah,” jawab juri laki-laki bertubuh besar dengan gelengan kepala.

“Sayang sekali. maka dari itu pertanyaan saya lempar untuk tim Jakarta.”

Dengan lantang Jevana berdiri, mengambil microphone yang tergeletak di atas meja dengan begitu yakin. “Jadi jawaban dari tim Jakarta?” tanya pembawa acara.

“Seribu sebelas,” jawab Jevana lantang. kini hanya suaranya berhasil meredam seluruh suara yang ada di dalam aula. membuatnya menjadi satu-satunya suara yang sukses membuat tingkat ketegangan semua orang di sana meningkat.

Hasan dan Candra saling memeluk satu sama lain. Marvel dapat dipastikan tengah tersenyum penuh bangga pada Jevana. sedangkan Nanda dan Zefa menatap intens gerak-gerik juri yang terlihat dibuat-buat.

“Jadi, untuk jawaban tim Jakarta, apakah benar? atau juga salah?” tanya pembawa acara.

Degupan jantung Jevana berdetak lebih cepat saat juri perempuan yang berada di tengah itu mengambil microphonenya. diketuknya microphone itu dua kali. “Benar,” jawabnya dengan senyum yang mengembang.

Teriakan yang sempat redam itu kembali menggema namun dengan jauh lebih kencang dari sebelumnya. Hasan dan Candra melompat dari kursi. Marvel berdiri seraya melayangkan satu pukulan ke udara. Nanda dan Zefa saling berpelukan satu sama lain.

Kini mereka semua berdiri, membentuk lingkaran saling berpelukan satu sama lain. tidak hanya tawa kemenangan ada juga tangis kebahagiaan di sana. tangis penuh rasa bangga pada diri sendiri yang berhasil membuktikan bahwa mereka bisa. bisa bersatu membuat suatu kemenangan.

“Gue bangga sama kalian. kalian bener-bener yang paling hebat!” ujar Marvel di sela-sela pelukan erat mereka. setelahnya mereka berlari ke arah Pak Theo yang tengah tersenyum bangga. dihantamnya tubuh Pak Theo dengan pelukan mereka semua. saling berebut agar mendapat ruang lebih untuk lebih leluasa memeluk guru pendampingnya itu. “Kalian keren. terimakasih sudah membuktikan kalau kalian bisa berubah.”

Suara terompet tahun baru menghantam indra pendengaran mereka. membuat mereka terpaksa melepas pelukan itu. di sana. orang tua mereka berada. saling membentangkan tangan lebar-lebar siap menerima pelukan putra mereka yang telah membuat bangga.

“Candra berhasil ibun, ayah!”

“Ayah ibu Hasan bisa, Hasan bisa menang.”

“Lihat ma, Jev menang lagi kali ini.”

“Marvel menang pa, ma…”

“Zefa berhasil ayah, bunda.”

“Bang Renja lo lihat ini kan? kita menang!!!!”

Itu suara mereka yang tengah berada di dalam dekapan orang tuanya masing-masing.

Hari itu. tujuh pemuda yang telah bertahan dari semua duka, semua masalah, semua tawa, semua tangis, semua yang terjadi selama mereka bersama telah sampai pada garis akhirnya. kini tujuh pemuda dengan satu anggota yang sudah menjadi sebuah bintang paling terang di tempatnya itu tengah tersenyum. senyum yang mungkin hanya mereka saja yang mengerti artinya.

“Bang Renja seharusnya lo bisa rasain ini juga.”

“Gue yakin Renja ada disini sama kita, dia pasti tadi ikut ngitung aljabar.”

“Bang kalo lo lihat ini, lo pasti sekarang lagi lompat-lompat sambil meluk kita satu-satu sambil bilang, adeknya abang emang nggak pernah mengecewakan!.” semuanya tertawa membayangi sosok Renjana yang terlihat begitu bahagia dengan senyum manisnya.

“Sekarang abang bisa tenang, karena perjuangan abang nggak sia-sia lagi.”