#2
Waktu menunjukkan pukul empat sore. Sudah setengah jam Aresha terhitung terlambat datang ke kafe— tempat kerja barunya. Kafe yang terletak di pusat kota Jakarta itu memang selalu ramai oleh para pengunjung, tidak hanya anak muda yang datang berkumpul untuk melepas rindu tak jarang banyak juga yang datang untuk mengadakan rapat dengan kliennya, ada yang makan siang dengan keluarga, atau hanya untuk sekedar menumpang wi-fi kafe.
Lelaki itu berlari secepat mungkin menuju halte bus di depan sekolah, salah satu kendaraan yang selama ini Resha pakai untuk mengelilingi kota Jakarta. Resha mengutuk dirinya sendiri karena bisa melupakan tugas dari Bu Yuli— guru bahasa Indonesianya untuk membuat sebuah puisi tentang pahlawan yang sudah diperintahkan sejak dua minggu yang lalu, alhasil ia menjalani hukumannya yaitu membersihkan lapangan belakang sekolah yang terbilang cukup luas untuk standar lapangan sekolah pada umumnya.
Bus yang ditunggu datang, tak perlu menunggu lama Resha segera menaiki bus itu dan duduk di kursi paling belakang—tempat kesukaannya. Karena bisa dibilang sebagai kursi raja, alias ia bisa melihat semua aktifitas para penumpang dari kursi belakang.
Matanya mengamati setiap sudut jalanan, sampai akhirnya suara kenek bus membuyarkan konsentrasinya.
“Res” ucap sang kenek. “etdah bocah ngelamun bae, Ress woi”. Tubuh Resha bergetar menandakan bahwa ia terkejut dengan panggilan sang kenek, yang Resha panggil bang Anton.
“kenapa si bang, berisik amat dah” sewot Resha.
“Ye dodol, daritadi juga udah panggil pelan, maneh nya aja yang ga denger” ujar bang Anton seraya menghitung uang para penumpang. Resha hanya terkekeh mendengarnya lalu mengeluarkan selembar uang lima ribu yang lalu ia berikan kepada bang Anton.
“Gue turun di depan bang”. Tangannya menunjuk sebuah halte bertuliskan 'halte pusat kota.'
“Tumben”. Resha tersenyum matanya berbinar. “Alhamdulillah udah dapet kerjaan baru bang”
Seakan merasakan kebahagiaan Resha, bang Anton langsung mengucapkan syukur. “Alhamdulillah yang bener? Udah gue bilang kan rejeki gak kemana, alhamdulillah di jaga tuh kerjaan jangan sampe ilang lagi”
Resha mengangguk. “Iya doain aja bang, semoga bertahan lama”.lalu tak lama bus berhenti tepat di halte yang Resha minta. Ia turun lalu berlari tergesa-gesa ke kafe tersebut.
“Maaf pak, ini murni kesalahan saya tapi apa bisa bapak pertimbangkan lagi? Saya benar-benar butuh pekerjaan ini” ujar Resha, dengan nada memohon.
“Baiklah, saya beri kamu satu kesempatan lagi, kalo kamu ngulangin lagi, maaf saya gak bisa bantu kamu lagi” ucap salah satu manager kafe itu. Dengan penuh rasa syukur Resha mengangguk dengan mantap. “Baik pak saya janji gak akan ngulangin lagi, terima kasih banyak pak”.
Tepat pukul sembilan malam, sudah waktunya ia mengganti shift kerja dengan pekerja lain. Ia segera mengemasi barang-barangnya dan segera pulang.
Angin malam yang dingin membuat Resha yang berjalan sendiri memeluk dirinya sendiri guna untuk memberi kehangatan pada tubuh mungilnya. Tubuh mungil yang sangat kuat, tubuh mungil yang tegar sekali menghadapi kerasnya hidup.
Ia menghampiri kedai nasi goreng langganannnya, memesan sepiring nasi dan ketika makanannya telah siap ia segera melahap habis makanannya tanpa sisa. Ia baru ingat bahwa ia lupa makan siang karena hukumannya tadi. Lalu ia pergi membeli beberapa buah untuk ia bawa.